Komentar ini datang dari sejumlah mantan petinggi regulator telekomunikasi. Mulai dari mantan dirjen di Kementerian Kominfo, hingga anggota komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
"Terlalu dipaksakan turun," tegas Muhammad Ridwan Effendi, mantan anggota komite BRTI yang sempat mengurusi tarif interkoneksi, saat berbincang dengan detikINET, Rabu (3/8/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini harus dihargai, berapa angka yang didapat dari formula yang disepakati dengan input data-data yang sahih itu yang harus diambil.
"Teorinya Kalau jaringan sudah mature, tarif interkoneksi ini akan terus turun, tapi tidak kalau operator terus membangun atau berganti teknologi, bisa saja tetap atau bahkan naik.
"Sewaktu di BRTI, saya selalu terlibat dalam perhitungan tarif interkoneksi. Yang terakhir di saat-saat transisi masa jabatan saya, memang belum selesai.
"Tapi kalau saya lihat kecenderungannya seharusnya minimal tetap atau bahkan naik. Jadi yang dipublish oleh Kominfo itu angkanya di bawah cost yang sesungguhnya," papar Ridwan.
Sementara mantan BRTI lainnya, Nonot Harsono, saat dihubungi detikINET mengaku tidak tahu cara penghitungan baru yang diambil oleh Kominfo sehingga terjadi penurunan rata-rata 26%.
"Tidak tahu bagaimana mereka menghitung dan bagaimana asumsi yang dipakai. Data real trafik dan investasi dari tahun ke tahun berbeda. Rumus sama tapi data yang dimasukin kan berbeda," ujarnya.
"Tarif interkoneksi itu kan angka eksakta, bukan reka-reka, jadi seharusnya yang lama bukan ngitung pake rumus, tetapi ulur tarik tentang validasi data. Apakah datanya valid atau bohong. Lalu debat asumsi, trafik promosi dimasukkan atau tidak, dan seterusnya. Sebenarnya ini yang harus dibuka kepada publik," cetus Nonot.
"Ketika asumsi dan data sudah disepakati valid, maka angka yang keluar dari kalkulator adalah angka tarif apa adanya, bukan angka reka-reka dan tidak harus turun atau naik dari angka sebelumnya, kecuali jika tidak ada investasi baru, angkanya pasti turun," demikian analisanya.
Seperti diketahui, penurunan tarif interkoneksi sekitar 26% ini akan diberlakukan untuk seluruh operator seluler di Indonesia mulai 1 September 2016.
Perubahan skema tarif itu sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 Tahun 2006 tentang Interkoneksi.
Menkominfo Rudiantara sendiri sebelumnya mengatakan, salah satu tujuan pemerintah memangkas biaya interkoneksi karena ia ingin membuat panggilan lintas operator itu mendekati biaya panggilan telepon ke sesama jaringan operator (on-net).
Namun demikian, tidak semua pihak setuju dengan pola pikir menteri yang dianggap cenderung menafikan komponen perhitungan lain dari tarif ritel dimana selain biaya interkoneksi ada variable lainnya.
Mantan Dirjen Perangkat Pos Informatika Kalamullah Ramli berpendapat bahwa tarif interkoneksi dihitung berdasarkan biaya jaringan masing-masing operator yang terdiri dari beberapa variabel seperti coverage operator, pelanggan, trafik bicara, trafik internet dan investasi elemen jaringan.
"Oleh karena itu biaya interkoneksi masing-masing operator akan berbeda tergantung dari jangkauan dan kapasitas jaringan," kata Prof Mully, panggilan akrabnya saat berbincang dengan detikINET beberapa waktu lalu.
Kalamullah menerangkan, sesuai dengan Peraturan Menkominfo Nomor 8 Tahun 2006, perhitungan biaya interkoneksi yang disesuaikan dengan masing-masing akan membuat operator tetap dapat membangun karena basisnya adalah biaya investasi masing-masing operator.
Selama diimplementasikan sesuai biaya jaringan yang dihitung untuk masing-masing operator maka akan adil bagi semua pihak, sesuai prinsip dalam interkoneksi di mana tidak boleh ada operator yang diuntungkan maupun dirugikan demi kepentingan pelanggan," jelasnya.
"Biaya interkoneksi selalu akan turun jika operator tidak memperluas jangkauan jaringan melalui pembangunan BTS baru," kata Kalamullah.
Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa biaya interkoneksi merupakan hak operator, jadi tidak bisa diturunkan maupun dinaikkan, karena semua operator dihitung dengan cara yang sama berdasarkan data input masing-masing.
Selama data inputnya benar maka hasil perhitungan akan menjamin pengembalian investasi operator. Biaya interkoneksi pun bukan untuk pelanggan, namun merupakan tarif jaringan antar operator yang dibayar dalam berinterkoneksi.
Menanggapi anggapan penurunan tarif interkoneksi akan berdampak pada turunnya tarif ritel sehingga pelanggan bisa menikmati harga yang murah, Kalamullah berpendapat bahwa kondisi ini apabila memang terjadi hanya akan baik untuk masyarakat secara jangka pendek saja.
"Namun sebaliknya, secara jangka panjang hal tersebut akan berdampak buruk, dikarenakan operator akan berkurang kemampuannya untuk memperluas cakupan jaringan dan mempertahankan kualitas layanan yang baik," pungkasnya. (rou/fyk)








































.webp)













 
             
  
  
  
  
  
 