Biaya interkoneksi adalah komponen biaya yang dikeluarkan operator untuk melakukan panggilan lintas jaringan (off line) yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Menurut Pemerintah, tujuan penetapan biaya interkoneksi untuk menjaga kemampuan membayar β affordability masyarakat sebagai konsumen, mendorong pertumbuhan pembangunan jaringan, dan menciptakan persaingan usaha yang sehat pada industri Telekomunikasi di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penurunan Tarif Interkoneksi
Sebelumnya, Menkominfo Rudiantara sudah mewacanakan bahwa Pemerintah akan menurunkan tarif interkoneksi hingga mencapai 20%. Saat ini, besaran tarif interkoneksi di Indonesia sebesar Rp 250 per koneksi. Jika diturunkan 20%, tarif interkoneksi turun dari Rp 250 menjadi Rp. 200 per koneksi.
Dengan tarif interkoneksi saat ini sebesar Rp 250 per koneksi sebenarnya merupakan tarif interkoneksi terkecil di antara tarif interkoneksi yang diberlakukan di semua negara ASEAN. Demikian pula jika dibandingkan dengan negara kepulauan seperti Jepang dan Filipina.
Tarif interkoneksi berlaku di Jepang berkisar antara Rp 1.447,99 hingga Rp 2.108,10 per koneksi, sedangkan di Filipina ditetapkan sebesar Rp 1.184,80. Berdasarkan perbandingan tersebut, adakah urgensi bagi Pemerintah untuk menurunkan tarif interkoneksi di Indonesia?
Menurut Pemerintah, penurunan tarif interkoneksi hingga mencapai 20% diharapkan dapat menguntungkan bagi konsumen. Namun penuruan hingga 20% atau hanya sebesar Rp 50 sesungguhnya tidak begitu signifikan bagi konsumen.
Pasalnya, komponen biaya interkoneksi sebesar Rp 250 per koneksi itu hanya meng-cover sekitar 15% dari total biaya tarif ritel secara keseluruhan, yang rata-rata berkisar antara Rp 1.500 hingga Rp. 2.000 per koneksi.
Ironisnya, penurunan tarif yang tidak signifikan bagi konsumen itu justru berpotensi menciptakan persaingan tidak sehat, sekaligus menghambat pertumbuhan pembangunan jaringan telekomunikasi.
Kalau penurunan tarif interkoneksi ditetapkan di bawah harga pokok penjualan (HPP), operator pemilik jaringan akan dirugikan. Sedangkan, operator pengguna jaringan akan diuntungkan oleh kebijakan penurunan tarif interkoneksi tersebut.
Dalam menetapkan HPP, pemilik jaringan biasanya menggunakan basis biaya (cost based) yang memperhitungan pengeluaran investasi (Capital Expenditure) dan biaya operasional (operational expenditure). Sedangkan, operator pengguna jaringan hanya mengeluarkan biaya interkoneksi yang ditetapkan pemerintah.
Dalam kondisi tersebut, penurunan biaya interkoneksi tidak dapat mencapai tujuan untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat, lantaran ada operator pemilik jaringan yang dirugikan dalam penetapan tarif interkoneksi.
Selain itu, penurunan tarif yang ditetapkan di bawah HPP juga berpotensi menghambat pertumbuhan pembangunan jaringan, yang masih sangat dibutuhkan untuk menjangkau seluruh pelosok wialayah Indonesia. Alasannya, operator merasa keberatan untuk membangun jaringan.
Di samping membutuhkan pengeluaran biaya investasi yang besar, operator pemilik jaringan harus menanggung kerugian akibat penetapan tarif interkoneksi ditetapkan di bawah HPP. Tidak bisa dihindari pembangunan jaringan akan mengalami stagnan.
Simetris vs Asimetris
Selain penurunan tarif interkoneksi, Pemerintah juga mewacanakan penetapan tarif interkoneksi secara simetris, yang besarannya sama untuk semua operator. Secara teoritis, penetapan tarif interkoneksi secara simestris akan mencapai efisiensi di pasar, jika syarat coverage jaringan sudah menjangkau seluruh wilayah di suatu negara dan mencapai keseimbangan jaringan antar operator.
Kalau syarat itu belum terpenuhi, kebijakan penetapan tarif interkoneksi secara simetris akan menyebabkan blunder bagi industri telekomunikasi. Tidak hanya menghambat pembangunan jaringan, tetapi juga menciptakan persaiangan tidak sehat, sehingga tidak sesuai dengan tujuan Pemerintah dalam menetapkan tarif interkoneksi.
Hampir semua negara-negara Eropa memang sudah menetapkan tarif interkoneksi secara simetris lantaran tingkat coverage jaringan sudah mencapai antara 90% hingga 100%. Swiss dan Kroasia sudah mencapai 100%, Austria, Yunani, Portugal dan Perancis 99%, Italia dan Spanyol 98%, Inggris 95%, dan Jerman 92%. Demikian pula dengan dua negara ASEAN, Thailand sudah mencapai 97% dan Malaysia 95%.
Kalau jaringan yang digunakan untuk menghitung coverage adalah Base Transceiver Station (BTS) dibanding jumlah penduduk, maka coverage jaringan di Indonesia diperkirakan baru mencapai 31,12%. Selain rendahnya coverage, juga terjadi coverage gap antar operator masih sangat tajam.
Data menunjukkan bahwa total BTS yang sudah dioperasikan baru sebanyak 249 ribu BTS, di antaranya dimiliki Telkomsel sekitar 46,6%, XL 23,7%, Indosat 21,3%, dan Smart 6,02%. Dalam kondisi coverage masih rendah dan adanya coverage gap yang masih tajam, Indonesia mestinya menerapakan kebijakan asimetris, penetapan tarif yang besarannya berbeda di antara operator. Kalau kebijakan simestris dipaksakan dikhawatirkan akan menimbulkan dampak buruk bagi perkembangan industri telekomunikasi Indonesia.
Pemerintah harus mempertimbangkan kembali urgensi penurunan tarif interkoneksi dan kebijakan simestris. Di satu sisi, kebijakan penurunan tarif interkoneksi memang akan menguntungkan bagi konsumen, tetapi di sisi lain juga berpotensi akan menghambat pertumbuhan pembangunan jaringan dan menciptakan persaingan usaha tidak sehat di antara operator.
*) Penulis, Dr. Fahmy Radhi, MBA merupakan Pengamat Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. (ash/ash)