Menurut President Director Smartfren Telecom, Merza Fachys, aturan network sharing itu harusnya dibuat seterbuka dan setransparan mungkin. Tidak boleh sembunyi-sembunyi, apalagi tanpa melibatkan uji publik.
"Kalau aturannya terbuka, kembali ke para pelakunya. Kalau aturannya tidak terbuka, akan sangat rigid. Namanya sharing kan sepasang. Kalau mau sama mau, baru bisa terjadi," ujarnya tadi malam saat berdiskusi dengan detikINET di Hotel Kempinski, Jakarta, Selasa (28/6/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Network sharing itu opportunity, kan sayang. Tapi sayangnya buat siapa dulu. Smartfren hari ini masih fokus bangun jaringan 4G LTE, kita berbeda dengan operator lain karena harus fokus migrasi dulu tahun ini. Setelah network ini jadi, baru ditanya lagi, ada kebutuhan sharing nggak?"
"Kami saat ini melayani 11 juta pelanggan, tapi network kami siap melayani sampai kapasitas 35 juta hingga 50 juta. Bahwa peraturan itu harus ada, siapa tahu nantinya kami butuh untuk melayani pelanggan Smartfren," pungkas Merza.
Merza sendiri belum lama ini diangkat menjadi Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) yang baru masa jabatan 2016-2018, untuk menggantikan Alexander Rusli.
Sebelumnya, dalam pertemuan dengan sejumlah media, Alex yang merupakan , President Director & CEO Indosat, sangat berharap tak ada hambatan dalam revisi PP 53/2000 untuk memuluskan aturan network sharing.
![]() |
Revisi PP No 53/2000 ini menurutnya sangat dibutuhkan jika network sharing ingin mulus. Karena jika mengacu ke beleid tersebut di Pasal 25 ayat (1) secara tegas menyatakan pemegang alokasi frekuensi radio tidak dapat mengalihkan alokasi frekuensi radio yang telah diperolehnya kepada pihak lain. Sementara di ayat (2) pasal yang sama menyatakan Izin Stasiun Radio (ISR) tidak dapat dialihkan kepada pihak lain kecuali ada persetujuan dari menteri.
Namun yang jadi masalah, tidak semua pihak merasa ikut dilibatkan dalam revisi aturan ini. Telkomsel misalnya, mengaku tak tahu menahu adanya aturan ini sampai akhirnya mencuat di media massa.
"Telkomsel tak pernah dilibatkan dalam revisi PP itu. Kami cuma dengar saja setelah ribut-ribut di media, katanya salah satu yang dibahas di PP itu soal network sharing," ungkap Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah kemarin saat berbuka dengan media.
![]() |
Ditegaskannya, Telkomsel tak alergi dengan network sharing asal tidak menjadi sebuah kewajiban tetapi lebih kepada deal business to business (B2B). "Kalau menjadi kewajiban bisa bahaya bagi kepentingan nasional, tak ada yang mau bangun jaringan, semua nunggu saja di tikungan," sindirnya.
Mantan Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan Anggota Komisi Kejaksaan RI Kamilov Sagala juga ikut menyayangkan draft revisi PP No 53/2000 sudah berada di tangan Sekretariat Negara tanpa melibatkan semua pemangku kepentingan dan konsultansi publik yang transparan.
"Jika untuk Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Over The Top (OTT) saja bisa berbulan-bulan konsultansi publiknya, bahkan diperpanjang, masak untuk Revisi Peraturan Pemerintah (RPP) ini tak ada uji publik, bahkan tak melibatkan semua pihak. Ini jelas melanggar kelaziman suatu proses pembuatan hukum di negara demokrasi ini," sesal Kamilov yang kini menjabat Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI). (rou/rou)


