Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
Steroid Digital yang Menstimulusi Sang Raksasa

Steroid Digital yang Menstimulusi Sang Raksasa


Ardhi Suryadhi - detikInet

Direktur Human Capital Management (HCM) Telkomsel Priyantono Rudito. (Foto: detikINET/Ardhi Suryadhi)
Jakarta - Inovasi atau mati. Itulah keniscayaan yang tak bisa dielak perusahaan telekomunikasi. Sistem dan perangkat canggih memang jadi bagian penting dalam transformasi ini. Namun ia bukanlah hal terpenting.

Sumber daya manusia! Itulah sosok paling sentral dalam perjalanan operator telekomunikasi mengarungi perubahan zaman yang semakin sulit diramalkan.

Semua perusahaan bisa saja membeli sistem dan perangkat canggih nan mahal. Namun lain halnya dengan inovasi serta kreativitas yang lahir dari otak manusia racikan Tuhan penguasa semesta alam.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tetapi tentu saja, inovasi tak datang sendiri. Ibarat pisau, ia juga harus selalu diasah untuk menjaga atau bahkan meningkatkan ketajamannya sehingga bisa melahirkan kreativitas tanpa batas.

Pendekatan inilah yang kerap dilupakan banyak orang ataupun perusahaan. Bahwa sesungguhnya inovasi itu bisa distimulasi bukan hanya dari faktor eksternal, melainkan dari dalam tubuh perusahaan. Ya, dari puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan karyawannya itu sebagai aset tak terkira.

Unlocking best people potential to face the distructive future, demikian Direktur Human Capital Management (HCM) Telkomsel Priyantono Rudito menyebut pendekatan dari dalam tubuh perusahaan tersebut.

"Pengembangan people atau SDM ini sangat menarik, dan ada sesuatu yang baru di situ. Kita menemukannya belum lama juga sebetulnya. Dimana initinya membuka potensi kemampuan SDM dari titik tertinggi untuk menghadapi masa depan," ujar Pri -- demikian panggilan akrabnya -- saat berbincang dengan detikINET di Telkomsel Smart Office, Jakarta.

Nah, model pendekatan ini pula yang telah dirintis Telkomsel untuk menghadapi era digitalisasi. "Ini tantangan di industri kami dan industri lain. Kita sudah masuk ke era digitalisasi. Konteks strategis yang dihadapi Telkomsel adalah ini, semua proses digitalisasi terjadi teramat cepat di semua industri apalagi Telkomsel. Dimana kita harus mewaspadai fenomena ini karena dampaknya sangat terasa," jelasnya.

Gelombang digitalisasi datang teramat cepat. Pri mengistilahkan ini sebagai steroid digital yang menstimulasi sesuatunya itu dengan lebih 'gila' lagi. Hasilnya? Hidup kita jadi digital oriented di tengah hingar internet, media sosial, pesan instan dan berbagai layanan 'cepat saji' lainnya.

"Bahkan pesan makanan di rumah sakit bagi pasien sudah tinggal pilih dari tablet PC, Go-Jek dan masih banyak lagi fenomenanya jadi bukti era digital. Bahkan Presiden Jokowi sempat membuat pernyataan, kalau dia pusing melihat teknologi tumbuh terlalu cepat," lanjut Pri yang mengutip dari sebuah artikel di detikINET.

"Jadi ini menegaskan jika digitalisasi itu datang lebih cepat dari yang diperkirakan. Implikasinya buat Telkomsel dan semua pelaku di industri. Coba saya tanya, berapa kali Anda menelpon dalam sehari? Tak pernah mungkin dalam seminggu, semua lari ke data. Saya nonton bola dua tahun lalu di stadion GBK (Gelora Bung Karno), penuh banget lah ada sekitar 80 ribu penonton. Itu pertandingan seru banget, eh di sebelah saya, nontonnya lewat streaming," cerita Pri yang pernah menjadi Direktur HCM di Telkom tersebut.

Tekanan steroid digital yang mengakibatkan proses digitalisasi berpacu semakin cepat ini tentu memaksa Telkomsel harus lebih gesit bertransformasi. Namun mereka sadar, itu bukan pekerjaan rumah yang mudah. Di belakang operator yang identik dengan warna merah itu ada lebih dari 150 juta pelanggan dan sekitar 4.900 karyawan di seluruh Indonesia.

"Maka buat Telkomsel agar tetap di atas harus punya pendekatan yang sangat berbeda, sangat ter-upgrade karena harus menghasilkan inovasi dan kreasi baru, karena dengan kreasi dan kreatifitas Telkomsel akan tetap ada," kata Pri.

"Nah, pertanyaannya? Siapa yang melakukan inovasi? Orang, bukan barangnya! Otak kanan itu potensi terbesar dari the next industry. Kami sudah lama di situ lalu gimana caranya? Saya memiliki KPI (key performance index) untuk memastikan 4900-an karyawan ini sama-sama punya skill, knowledge dan kompetensi yang upgrade. Kalau teman-teman yang lahir di era digital native seperti Go-Jek, BukaLapak itu sudah 'bahasa' sehari-harinya. Tapi operator telekomunikasi tidak, makanya kita disebut digital migrant, dan kemampuan kita juga harus dimigrasikan," lanjutnya.

Rahasia Google

Pri sebagai sosok yang paling bertanggung jawab terkait SDM Telkomsel pun dipaksa memutar otak untuk bisa meng-upgrade aset perusahaan itu. Setumpuk literatur dan riset ia lahap untuk mencari perpektif baru, termasuk mencari tandem bertukar pikiran. Sampai akhirnya, pendekatan yang menyegarkan datang dari buku yang menjabarkan tentang kisah bekerja di Google.

"Tahu Google dong? Kita pasti berpikirnya dia sebagai perusahaan barat itu nasionalis, pendekatan bisnis, tetapi untuk develop orang gimana? Mungkin gaji besar? Sistem karir atraktif? Mungkin kita berpikir seperti itu. Yang kalau saya mengelompokkannya adalah stimulan yang datang dari eksternal orang (dari luar dirinya), saya pikir awalnya itu pendekatan dari Google".

"Tapi ternyata tidak, dimana ternyata mereka menempuh 'from within' dari dalam diri karyawan Google. Untuk paham apa prioritasnya dalam kehidupan, Kenapa dia bekerja di Google. Jadi bukan sekadar dapat gaji tinggi? Ini sama dengan perusahaan besar lainnya. Jadi dia mengikis kulit bawang, orang tuh dikupas, ke sini ngapain, apa tujuannya apa, prioritasnya apa? value sistemnya apa? Lalu dia selaraskan dengan visi misi perusahaan?" papar Pri, panjang lebar.

Pendekatan Google terhadap karyawan ini rupanya mengusik hati Pri. Ia menilai, harusnya yang mengimplementasikan pendekatan seperti ini bukan Google, melainkan perusahaan yang memiliki domain di situ -- seperti Bank Muamalat dan sejenisnya. Tapi ini Google, seperti ada sebuah paradoks di sana.

Di satu sisi bisnis Google mentereng tapi pendekatannya carilah di dirimu sendiri. Setelah dicari, di-drive, dimotivasi dan dapatlah hasilnya. Di Google, mereka berhasil meng-unlock orang-orangnya sampai titik tertinggi.

"Kan ada bukunya 'Are u Smart Enough to Work in Google?' Itu isinya aneh juga, out of the box. Jadi bukan gaji loh, saya tak bilang gaji gak penting. Tapi kalau untuk mendapatkan untuk hasil yang paling maksimal tak cuma pendekatannya soal gaji. Konon kita ini, kemampuan bekerja kita baru ter-unlock baru 60% itu berdasarkan riset loh. Ada 40% peluang yang belum terutilisasi. Inilah yang sudah terutilisisasi oleh Google, sehingga lahir Google Glass, mobil otomatis, balon internet dan lainnya," sebut Pri.

1 Dapat 2

Dengan pendekatan seperti ini, para pegawai datang ke kantor itu tak sekadar datang. Melainkan ada misi tersembunyi dalam arti positif. Misalnya ada yang datang ke kantor dengan misi untuk mengaplikasikan ilmunya, ingin membuat Indonesia terlepas dari masalah atau berbagai hal positif lainnya.

Jadi tujuan yang dipatok begitu tinggi, sehingga ketika hasil kinerja yang diminta 100% maka ia dinilai bisa memberi 120%, 150% alias melebihi KPI. Nilai kerja yang sudah terbuka kuncinya inilah yang bisa melahirkan karya, inovasi, kinerja yang melampaui KPI yang dituntut perusahaan, kemudian sustain (berlangsung terus).

Misi positif ini pula yang sudah dibuktikan oleh para pendiri Google saat merintis mesin pencarian yang bisa dipakai semua orang dengan gratis. Sampai akhirnya dengan orientasi positif itu bisa mengantar Google sebagai raksasa teknologi dunia dengan valuasi bisnis sangat tinggi.

Namun tujuan akhir dari konsep 'unlock people from within' yang sangat ingin disoroti Pri adalah bukan soal membuka potensi terhebat, kinerja melebihi KPI serta berkelanjutan. Melainkan soal kebahagiaan dan kepuasan batin.

"Kalau pendekatan eksternal maka istilahnya '1 dapat 1', kalau ini (konsep unlock people from within-red.) maka '1 dapat 2'. Para bos biasanya bakal bilang, 'kerjalah segiat dan seproduktif mungkin nanti kembalinya kesejahteraaan meningkat, gaji naik, bonus berlipat'. Dengan konsep itu ya sudah, 1 dapat 1. Dimana jika kinerja bagus maka pendapatan bertambah".

"Tetapi kalau pendekatan internal maka '1 dapat 2'. Karena selain kesejahteraaan juga akan mendapatkan kebahagiaan, karena dia meng-entertain value-nya . Orang yang punya tujuan ingin membuat tembok terhebat di dunia karena dia dulunya lulusan STM Pembangunan maka dia bakal menghasilkan kebahagiaan yang luar biasa saat mencapai tujuan itu. Inilah yang saya bilang pendekatannya agak aneh tetapi yang diperoleh adalah Google Glass, Project Loon (balon internet Google) dan karya besar lainnya," ungkap Pri.

Telkomsel dan Kisah Tukang Tembok

Telkomsel sendiri dikatakan Pri sudah dalam koridor yang sama seperti yang dilakukan Google dengan pendekatan 'unlock people from within'. Dimana framework tersebut sudah coba dirintis sejak tahun 2012 demi memuluskan misi transformasi dari perusahaan telekomunikasi menjadi perusahaan digital.

Namun untuk sampai pada fase teratas tentu ada tahapannya. Dimana pada fase awal yang harus dilakukan adalah 'unlock' alias kemampuan pemaknaan nilai-nilai. Contohnya, seseorang yang pangkatnya tidak tinggi di perusahaan, dia bisa pulang dengan lebih bahagia dibandingkan bosnya saat pulang ke rumah.

"Ketika dia bekerja semaksimal mungkin di kantor, tapi saat pulang ke rumah maka kebahagiaannya melebihi direktur, karena dia hidup bekerja dengan nilai-nilai yang dia pegang. Sekarang bayangkan, dari 4.900 karyawan Telkomsel saya bisa mengangkat mereka dalam kaliber tersebut, kuat dan hebat dalam pemaknaan nilai. Maka tantangan masuk ke era digital yang memerlukan inovasi dan karya besar itu bukan kemustahilan, dan Telkomsel akan semakin hebat," jelas Pri, dengan penuh semangat.

Untuk menggolkan misi itulah tim HCM Telkomsel membuat roadmap dan meningkatkan investasi untuk SDM dua hingga tiga kali lipat dari sebelumnya. Selain belajar soal pengembangan jaringan, marketing, dan teknologi, investasi yang dilakukan juga terkait pemaknaan nilai bagi tiap individu di anak usaha Telkom itu.

Tahapannya, dimulai dari menggali corporate culture dimana pada tahun 2012 ditetapkan Telkomsel Way, sistem nilai yang disinkronisasikan dengan Telkom Way sebagai induk perusahaan. Dan itu harus diaktivasi dengan keterlibatan dari pucuk pimpinan sampai ke level bawah.

Culture Festival adalah salah satu kegiatan tahunan yang menjadi aktivasi Telkomsel Way. Sekilas, acara ini tak lebih dari sekadar acara lomba 17-an. Tetapi jika tak tahu filsofinya maka akan dilihat lebih dari itu.

"Ini (Culture Festival-red.) media ekspresi untuk mengaktivasi nilai dan integritas. Ada yang membuat film yang menceritakan ibu hamil dikasih tempat duduk, ada vendor mau ngasih sesuatu kita tak terima. Jadi nilai-nilai itu diekspresikan dan menegaskan integritas kita".

"Kita memilih pendekatan kreatif, setiap unit silakan berkreasi untuk mencerminkan nilai-nilainya. Nah, cara itu sudah dilakukan dalam dua tahun terakhir menjelang ulang tahun Telkomsel yang jatuh setiap 26 Mei dan diadu antar divisi. Tahun ini kita naik level tak cuma aktivasi, tapi menunjukkan nilai itu hidup untuk membuktikan tak cuma hafal tapi terefleksikan, makanya pada datang ke sini daari level bos meski dari area (berbagai kota) sekalipun," Pri melanjutkan.

Meski terdengar klise namun Pri meyakini jika nilai-nilai dalam bekerja ini punya dampak luar biasa. Tak melulu dimotivasi oleh gaji tinggi. Ia kemudian memberi contoh kisah tukang tembok yang suka disampaikan oleh mantan Dirut Telkom Arief Yahya yang kini menjabat Menteri Pariwisata.

Jadi ada tiga tukang tembok: A, B dan C. Mereka melakukan pekerjaan yang sama, yakni menembok dengan bahan baku sama. Lalu disurvei dan diberi pertanyaan, 'Apa motivasi bapak menembok?'.

Jawaban tukang tembok A, "Saya ingin mendapatkan gaji Rp 100 ribu sehari?". Dimana jawaban itu menunjukkan bahwa ia masih di level kompensasi dengan motivasinya semata untuk mendapatkan pendapatan.

Sementara tukang tembok B menjawab, "Saya bekerja karena ingin membuktikan ilmu saya yang dulu saya pelajari di STM Pembangunan. Bener gak ilmu tersebut?". Jawaban tukang tembok ini dianggap telah mencerminkan jika ia sudah meng-unlock potensi kehebatannya dibanding A. Tukang tembok B dinilai sudah hidup dengan nilai.

Tapi ada tukang tembok C yang punya jawaban lain, "Saya membuat tembok ini untuk mewujudkan kecintaan kepada bangsa,". Dimana ternyata tembok yang dikerjakannya itu merupakan bagian dari Istana Bogor dan ia ingin melihat tamu negara yang diundang Presiden ke Istana Bogor melihat tembok ini rapih, tak kalah seperti di istana negara lain.

"Pastinya, tukang tembok C berada di level yang lebih di atas ketimbang dua rekannya. Pertanyaannya, jika Anda disodorkan tiga pekerja ini, mana yang bakal Anda pilih?" tanya Pri.

Pri sadar untuk mengajak atau bahkan mengedukasi ke 4.900 karyawan Telkomsel tentang pemaknaan nilai-nilai tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Resistensi pasti terjadi dengan komentar sinis mengiringi, 'Ah, buat apa sih? Ribet banget' dan semacamnya.

Tetapi hal itu tak lantas membuat Pri ciut. Salah satu cara untuk meredam penolakan itu yakni dengan membangun 'sense of urgency' menegaskan kepada para resisten soal 'kenapa hal ini jadi begitu penting?' sehingga setiap orang di perusahaan mengerti manfaatnya.

Kedua, peneladanan. Yaitu butuh contoh kongkret dari pimpinan. "Kita buat role model, kita menetapkan orang nomor satu dulu, dirutnya dituntut untuk memberi role model dan cascading sampai skala unit" lanjut Pri.

Ketiga, membangun orang yang bisa memberi desiminasi. Dimana peran ini dipegang oleh change agent (agen perubahan) yang ditetapkan pakai surat keputusan (SK) dan disekolahkan. Keempat, proses change management melibatkan setiap orang. Ini bukan tantangan tapi ini program kita, Kelima, konsistensi.

"Hasilnya di Telkomsel not bad, Alhamdulillah. Dan coba bayangkan kalau kita unlock nilai-nilai di atas secara bangsa maka bakal luar biasa inovasi yang dilahirkan negara ini," Pri menutup perbincangan panjang ini. (ash/fyk)
TAGS





Hide Ads
LIVE