Cerita CEO Indosat Soal Susahnya Jualan Dompet Digital
Hide Ads

Cerita CEO Indosat Soal Susahnya Jualan Dompet Digital

Ardhi Suryadhi - detikInet
Rabu, 27 Apr 2016 18:48 WIB
CEO Indosat Alexander Rusli (Foto: detikINET/Adi Fida Rachman)
Jakarta - Mobile money saat ini jadi salah satu layanan digital yang terus didorong operator tiga besar: Telkomsel, XL Axiata dan Indosat Ooredoo. Namun ketimbang jualan pulsa, menjajakan dompet digital jauh lebih sulit.

Demikian diutarakan CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli di sela acara Breakfast Briefing dengan Jakarta Foreign Correspondents Club (JFCC) di hotel Interkontinental Jakarta, Rabu (27/4/2016).

Menurut Alex, tantangan pertama datang dari pemain perbankan yang terlihat sudah masuk ke dalam zona nyaman. Namun ketika perbankan didorong ke segmen yang lebih bawah, mereka dinilai sulit untuk blusukan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bank Indonesia (BI) sebagai wasit di layanan keuangan memang lebih punya kedekatan psikologis dengan para pemain perbankan. Namun mau tak mau, BI juga punya misi untuk mengikis financial divide, dimana mau tak mau harus juga mengeksplorasi peluang lain. Nah, di sinilah operator telekomunikasi muncul sebagai alternatif.

"Perbankan tak mau dan tak mampu ke pelosok, karena cost tinggi. Sama seperti mentalitas incumbent, status quo itu lebih baik dibandingkan perubahan. Ini (masuknya operator ke mobile money-red.) pasti mengganggu zona nyaman (perbankan)," kata Alex.

Hanya saja, meski dianggap punya kemampuan untuk masuk ke pelosok daerah, operator nyatanya juga kesulitan untuk memperkenalkan serta menjajakan layanan mobile money mereka ke masyarakat.

Pendekatan sporadis seperti jualan pulsa dianggap tak bisa diterapkan untuk mobile money. Hal ini sudah dirasakan langsung oleh tim Alex saat coba lebih bergerilya ke suatu wilayah.

"Semua sudah promosi gila-gilaan tapi susah juga, jauh lebih kompleks dari beli pulsa. Jauh lebih gampang dimengerti beli pulsa, maka kita sekarang coba masuk per wilayah. Misalnya kita dorong di Sukabumi, kita dorong di mana. Jadi promosinya ada rencana yang disiapkan secara below the line, langsung ke grass root. Skalanya tidak nasional memang," Alex memaparkan.

Strategi masuk ke grass root ke wilayah-wilayah terpilih ini pun dianggap mengikuti kisah sukses yang dilakukan perbankan saat awal-awal merintis bisnisnya di Indonesia. Dimana menyebar produk massal secara gila-gilaan bukanlah menjadi pilihan.

Seperti saat Indosat coba masuk ke Sukabumi beberapa waktu lalu. Edukasi yang dijalankan untuk mengangkat pamor mobile money Indosat β€” Dompetku β€” dilalui dengan tidak mudah, tapi tanggapannya positif. Kalau dari angka, ketika user sudah memakai layanan itu tendensinya bakal menggunakan terus, tapi yang susah adalah membuat user untuk mencobanya pertama kali.

"Aduh bos, gak gampang. Kita sudah coba dalam 6 bulan terakhir. Misalnya saya kirim ke 100 orang lewat SMS dengan promosi dapat saldo gratis dengan cara mendaftar ke galeri Indosat. Itu respons rate-nya itu hampir tak ada. Kita kasih uang dan kita pilih yang ARPU-nya (Average Revenue Per User) itu cuma Rp 2.000 per minggu".

"Dikasih SMS kayak gitu saja malah gak percaya. Lalu coba ditelepon, ternyata masih gak percaya juga. Jadi memang, proses edukasinya gak mudah. Kita juga pernah coba ke 20 orang di Jawa Tengah, dites dengan dikasih saldo Rp 500 ribu, gak juga (sukses), susah memang," keluh Alex.

Pun demikian, bukan berarti pengalaman pahit menggarap mobile money yang dirasakan tersebut membuat Indosat ciut untuk menatap bisnis ini ke depannya. Sebaliknya, Alex dan tim Indosat tetap optimistis.

Hanya saja pendekatan ke masyarakat tidak dilakukan seperti jualan produk massal, melainkan masuk lewat grass root. Memang, omset yang beredar dari mobile money saat ini masih kecil. Namun Alex melihat ada potensi lain yang bisa digarap dengan mengikat pelanggan lewat dompet digital.

Salah satunya adalah menurunkan churn rate alias pelanggan kabur, dimana per bulan saat ini tingkat churn rate sudah mencapai 15%. Selain bisa mengurangi churn rate, makanya kita juga harus mempermudah orang untuk masuk ke layanan lain. Seperti akses ke e-commerce, jadi margin (profit) bisa datang dari mana-mana, sebagai mass product saja tak bisa," ungkapnya.

"Jadi saya percaya 100% mobile money itu akan tumbuh di Indonesia. Begitu dapat formulanya untuk dapat menarik user secara dramatis. (Sedangkan) dari segi regulasi yang ada sudah cukup untuk melonjakkan mobile money di tahap awal," Alex menandaskan. (ash/afr)