Selain dukungan finansial yang kuat dari induk perusahaan, tentu ada beberapa faktor lain yang membuat Telkomsel mampu bertahan lama sebagai pemimpin pasar seluler selama hampir dua dekade di Indonesia.
Walaupun mayoritas kepemilikan Telkomsel merupakan milik Telkom -- yang notabene badan usaha milik negara -- bukan berarti di awal kiprahnya, operator seluler ini banyak mendapat keistimewaan.
Buktinya, di awal kiprahnya 1995 silam, Telkomsel harus merasakan ratapan anak tiri dengan terlebih dulu diasingkan ke Batam. Pengembaraan Telkomsel di daerah-daerah terpencil justru membuat perusahaan ini semakin kuat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apakah perjalanan Telkomsel selesai sampai di sini? Tentu tidak. Masa keemasan seluler yang sempat lama mereka nikmati telah memasuki senjakala. Di era digital saat ini, operator seluler pun dituntut untuk bertransformasi kalau mau bertahan.
Β
Β
Era digital seperti kesempatan kedua yang harus dimenangkan setelah booming seluler usai.
Itu sebabnya, saat Herdy masih ikut memimpin Telkomsel pada 2012 silam bersama direksi lain yang dinakhodai CEO Alex J Sinaga saat itu, telah mencanangkan transformasi besar bagi perusahaan, dari sebuah telecommunication company (Telco) menjadi digital company (Dico).
Transformasi besar-besaran ini meliputi perubahan dalam hal business, people, culture dan organization. Hasil dari transformasi ini menghasilkan performansi perusahaan yang terus melejit, dimana dalam tiga tahun berturut-turut pertumbuhan Telkomsel mencapai dobelΒ digit.
Dalam transformasi tersebut, Telkomsel juga mewujudkan milestone penting dengan pencapaian sasaran jangka menengah tiga tahunan pertama hingga tahun 2015 yang dinamakan Triple Three.
Triple Three yaitu meraih enterprise value telkomsel sebesar Rp 300 triliun pada akhir 2015, pertumbuhan 33% dalam tiga tahun (2013, 2014, 2015), dan kontribusi revenue dari portfolio broadband dan bisnis digital mencapai 33% pada akhir tahun.
Β
Β
Semua kisah perjalanan ini terangkum dalam buku yang dirilis Herdy dengan judul: 'Strongest by Best People: The Telkomsel Way & Transformasi Human Capital'.
Dalam buku ini, Telkomsel maupun Telkom sebagai induk perusahaan, ingin menegaskan pentingnya membangun budaya kerja sumber daya manusianya. Menguasai teknologi tanpa didukung orang-orang yang tepat di belakangnya, tak akan ada gunanya.
"Membangun budaya beserta orangnya, ini yang menjadi landasan kuat bagi perusahaan seperti Telkomsel. Tidak cukup perusahaan hanya memperhatikan teknologinya saja, tetapi mengabaikan talenta-talenta dan budaya kerja," terang Herdy.
Β
Β
Ditegaskannya, di Telkom Group berkat budaya kerja yang sangat baik, karyawan merasa betah dan ingin tetap menjadi karyawan. βTingkat turn over kecil sekali. Cuma sekitar 1%. Karena kultur yang kita bangun selalu memberikan tempat yang terbaik kepada karyawan kita. Pokoknya, kalau kerja di Telkomsel itu asyikβ tutup Herdy.
Sementara menurut Priyantono Rudito, Direktur Human Capital Management Telkomsel saat ini, dalam format Telkomsel, perubahan itu berarti bertransformasi dari Telkomsel 1.O menjadi Telkomsel 2.O. Maksud dari huruf 'O' di sini adalah Opportunity atau peluang.
"Inilah kesempatan kedua Telkomsel meraih kesuksesan di industri digital setelah booming bisnis seluler beberapa waktu lalu," ujarnya sembari mengungkapkan, keberhasilan yang diraih selama ini, tidak terlepas dari peran perusahaan yang membangun budaya serta orang-orangnya.
βKita melakukan transformasi dengan memperkuat people dan culture. Kami percaya dengan membangun culture dan people mampu memberikan karakter khusus bagi Telkomsel," kata Priyantono lebih lanjut.
Human capital yang dimiliki oleh Telkomsel diyakini menjadi penggerak utama dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan Telkomsel. Operator ini menyiapkan anggaran untuk pengembangan sumber daya manusia naik menjadi 200% pada tahun depan.
Anggaran tersebut, kata Priyantono, akan digunakan untuk mengirim sejumlah talenta muda untuk belajar ke luar negeri, demi mendukung transformasi ke depannya.
Dalam peluncuran buku ini di Jakarta, akhir pekan lalu, ikut hadir pula Menteri Pariwisata Arief Yahya, mantan Wadirut Telkom Garuda Sugardo, Direktur Utama Telkom Alex Janangkih Sinaga, dan juga Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah.
"Scripta manen verba volant," kata Arief Yahya mengomentari isi buku itu dalam pepatah kuno latin yang artinya: apa yang tertulis akan abadi. Arief sendiri waktu itu menjabat sebagai Dirut Telkom saat Herdy masih di Telkomsel.
Sementara Ririek dalam kesempatan yang sama juga ikut berkomentar tentang buku yang menguak isi dapur dan seluruh amunisi Telkomsel di dalamnya. "Jadi kalau kompetitor kami ingin tahu seperti apa isi dari dapurnya Telkomsel, baca saja buku ini," ujarnya santai.