Murahnya SIM Card Asing Bikin Produsen Lokal Pusing
Hide Ads

Murahnya SIM Card Asing Bikin Produsen Lokal Pusing

- detikInet
Kamis, 19 Mar 2015 12:52 WIB
Ilustrasi (Ist.)
Jakarta -

Indonesia merupakan pasar gemuk bagi industri SIM card. Kebutuhannya bisa mencapai 300-400 juta unit per tahun. Namun sayang, perusahaan lokal belum bisa jadi raja di rumah sendiri.

Indonesia bukan tidak bisa bersaing dengan produsen SIM card global. Jika ditanya soal kualitas, perusahaan lokal berani diadu. Hanya saja ketika ditandingkan ke meja tender, mereka harus mundur teratur melihat harga jual produsen SIM card asing yang jauh lebih murah.

Menurut Trio Adiono, Kepala Pusat Antar Universitas (PAU) Mikroelektronika Institut Teknologi Bandung (ITB), tantangan utama bagi produsen SIM card lokal adalah masalah harga jual ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pemain asing menurunkan harga mereka supaya dapat menguasai pasar Indonesia, sehingga harga mereka sedikit di bawah harga kita. Perbedaan yang sedikit ini menjadi alasan utama operator belum mau menggunakan produk kami," keluh Trio saat dihubungi detikINET.

Trio sendiri merupakan bagian dari PAU Mikroelektronika ITB yang mempunyai riset dalam desain chip yang digunakan dalam produk SIM card. Hasil desain ini kemudian diwujudkan dalam produk jadi berkolaborasi dengan Xirka Silicon Technology sejak tahun 2012.

Tak tanggung-tanggung, SIM card lokal Xirka sejatinya sudah siap diproduksi massal dengan kapasitas dapat mencapai 100 juta unit per tahun. Namun sayang, mereka seakan terasing di rumah sendiri lantaran operator lokal justru lebih melirik pembuat SIM card asing.

"Sebenarnya harga SIM card di negara selain Indonesia lebih tinggi. Bahkan di negara maju bisa 10 sampai dengan 20 kali lipat. Namun karena persaingan industri, terutama dengan lokal, harga di Indonesia ditekan sedemikian rupa sehingga sulit bagi Industri dalam negeri untuk berkembang," lanjut Trio.

Pemain asing dapat melakukan perang harga tersebut karena mempunyai pasar dalam skala internasional. Sehingga meskipun mendapat margin tipis, mereka masih dapat menguasai pasar Indonesia dan mengambil keuntungan dari pasar di negara lain.

"Selain itu kita juga tahu bahwa perusahaan-perusahaan asing mendapat dukungan dan subsidi dari pemerintah mereka dalam berbagai bentuk insentif, sehingga harga jual produknya bisa lebih rendah," Trio menandaskan.

Setali tiga uang dengan Trio, CEO Xirka Sylvia Sumarlin juga mengutarakan keluhan serupa, yakni soal perang harga. Namun Sylvia juga menyoroti soal proses tender yang kadang dilakukan di negara induk operator itu berasal.

"Sebagai perusahaan lokal kita siap bersaing dan mestinya Xirka jual dong ke dalam negeri. Tapi ini gak bisa. Operator telekomunikasi di Indonesia itu kebanyakan dari luar, jadi tender kartu itu kebanyakan dilakukan di negara masing-masing tempat mereka berasal. Seperti dari Malaysia maka dilakukan di sana, dan harganya rendah sekali dari yang kita produksi," paparnya.

Menurut mantan Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) ini, jika produsen lokal setiap tahunnya memproduksi ratusan juta SIM card maka pemain asing skalanya sudah miliaran. Dimana ini sangat berpengaruh untuk menekan jual seminim mungkin karena kuantitas yang sangat besar.

"Jadi kita sebenarnya juga ingin ikut tender, tapi di luar negeri mereka mensyaratkan dari segi harga. Sekarang kita tanya lagi ke operator, selisihnya lumayan jauh sekitar 8 sen-10 sen dolar. Operator tentu melihat harga yang lebih murah," keluh Sylvia.

"Padahal SIM card mereka (pemain asing-red.) tidak dibuat khusus untuk Indonesia, tetapi untuk seluruh negara di dunia. Berbeda dengan kita yang memang dicetak khusus untuk Indonesia. Keunikan kita adalah membuat sistem sekuriti sendiri, berbeda dengan sekuriti yang dicetak oleh produsen terbesar itu, patennya beda, IP-nya beda," pungkasnya.

(ash/fyk)
Berita Terkait