Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
Kolom Telematika
Peran dan Tantangan Operator dalam Keuangan Inklusif
Kolom Telematika

Peran dan Tantangan Operator dalam Keuangan Inklusif


- detikInet

Dimitri Mahayana (dok.pribadi)
Jakarta - Di awal tahun ini, kiranya pemerintah perlu memaksimalkan tidak hanya sektor perbankan, tetapi juga pihak lain dalam memajukan program keuangan inklusif. Saat ini peraturan yang ada sangat mengutamakan perbankan dan relatif kurang mengakomodasi pemain non-perbankan.

Salah satu potensi pemain non perbankan datang dari sektor telekomunikasi (telko), sebab industri ini memiliki kekuatan dan infrastruktur dalam menggulirkan layanan keuangan inklusif.

Mereka memiliki calon pasar sangat besar, saat ini di Indonesia terdapat 311,4 juta pengguna seluler terdiri dari 139 juta pelanggan Telkomsel, 54,2 juta pelanggan Indosat, 59,6 juta pelanggan XL, 46,5 juta pelanggan Tri, dan 12,1 juta pelanggan Smartfren.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Operator telko juga memiliki jaringan agen sangat luas melalui kantor-kantor customer service yang tersebar hingga level kecamatan, belum lagi jaringan distributor pulsa yang bisa sampai lingkup RT. Tiga operator besar, seperti Telkomsel memiliki 437 kantor customer service yang terbagi ke dalam tiga skala level (di antaranya 86 buah GraPari), Galeri Indosat 110 kantor, serta XL Center 107 kantor.

Telko juga memiliki infrastruktur jaringan yang akan mendukung layanan keuangan inklusif, yang mana layanan keuangan baru ini selalu memanfaatkan teknologi informasi. Saat ini jangkauan layanan operator eksisting terus diperkuat penambahan-penambahan jumlah BTS.

Hingga saat ini, dari data yang diperoleh, Telkomsel memiliki jumlah BTS terbanyak yaitu 84 ribu BTS, Indosat (37 ribu BTS), XL (52 ribu BTS), Tri (33,2 ribu BTS), dan SmartFren (6 ribu BTS), sehingga totalnya terdapat 212.601 BTS di seluruh Indonesia.

Pembangunan infrastruktur jaringan operator juga didorong program pemerintah mewujudkan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi masyarakat Indonesia. Seperti halnya program Indonesia Digital Network PT. Telkom, yang salah satu targetnya pembangunan fiber optik sepanjang 26,299 km di seluruh Indonesia pada tahun 2015.

Jadi dari sisi teknologi dan pasar, operator telko siap ikut berperan dalam layanan keuangan inklusif. Otomatis jika melihat kekuatan industri tersebut, jika peran telekomunikasi kurang dilibatkan apalagi dihilangkan, maka pemerintah akan rugi dan sekaligus masyarakat merugi besar!

Bagaimanapun, hebatnya sektor telekomunikasi ini adalah dapat menjangkau masyarakat terkecil. Sesuai sasaran keuangan inklusif itu sendiri yaitu layanan keuangan wong cilik, maka ikutsertanya telko akan mempercepat perkembangan keuangan tersebut.

Namun demikian, dari peraturan yang ada saat ini, baik peraturan Bank Indonesia untuk Layanan Keuangan Digital maupun peraturan OJK tentang Laku Pandai, terdapat beberapa isu yang dihadapi telko: (a). LKD/Layanan Keuangan Digital individu tidak diijinkan diselenggarakan untuk telko (b) Pengalaman KYC/Know Your Customer, dan (c) Manajemen risiko.

Untuk itu, usulan yang perlu disampaikan adalah bagaimana LKD individu bisa juga dikelola telko, tidak hanya oleh perbankan seperti sekarang. Kemudian diupayakan relaksasi proses KYC untuk batas transaksi tertentu, serta dimungkinkannya pengambilan foto/pengisian data yang diperlukan secara elektronik menggunakan device yang ada di agen maupun capturing bukti dokumen identitas menggunakan gadget yang ada di agen.

Hal tersebut merupakan benchmark di Pakistan, dimana relaksasi KYC merupakan salah satu faktor bangkitnya perkembangan branchless banking di Pakistan. Revisi regulasi tahun 2011 memberikan kelonggaran dalam proses KYC yaitu menarik persyaratan penggunaan biometric finger print dalam pengumpulan informasi calon nasabah.

Juga menambahkan akun 'level 0' dengan saldo kecil dan limit transaksi, dimana registrasi dapat dilakukan secara elektronik. Proses KYC yang sederhana juga dapat dilihat pada studi banding di Papua Nugini, dimana BSP Rural Bank membuka branchless banking dengan proses KYC menggunakan tablet Samsung untuk mencatat data pelanggan dan mengirim data pelanggan ke kantor pusat saat pembukaan rekening.

Keamanan Informasi Telko

Nah, sebelum itu semua diimplementasikan, operator telko sendiri harus membuktikan tingkat keamanan teknologinya ke bank, dengan merujuk Peraturan Bank Indonesia tentang Manajemen Risiko Teknologi Informasi No 9/15/PBI/2007.

Telko juga harus selaras dengan PBI MRTI 09/15/2007, atau setara dengan keamanan perbankan serta best practices level global. Dan hal ini harus diuji oleh auditor independen secara periodic serta hasilnya harus dilaporkan pada regulator secara periodik.

Adapun manajemen risiko teknologi informasi yang terkait Telko antara lain mencakup kecukupan kebijakan dan prosedur penggunaan teknologi informasi dalam hal pengamanan informasi.

Hal yang diperhatikan adalah aspek-aspek kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity) dan ketersediaan (availability) secara efektif dan efisien, serta mencakup penguatan manajemen resiko dari sisi SDM dan proses dalam menggunakan teknologi informasi.

Situasi ini perlu ditekankan karena sektor telko pernah kebobolan, sampai-sampai bisnis konten hancur lebur. Seperti terjadi beberapa tahun yang lalu dan mungkin pula masih terjadi hingga saat ini, yaitu kasus SMS konten premium yang berujung pencurian pulsa pelanggan seluler di Indonesia.

Kasus yang mulai muncul tahun 2011 tersebut telah merugikan pengguna seluler sebesar Rp 1 triliun. Pihak yang sangat berperan yaitu operator dan content provider tidak berhasil melakukan bentuk kesepakatan kerja sama yang melindungi masyarakat. Karenanya sekali lagi, sekalipun potensinya besar namun jika tidak diperkuat dari awal, maka bisnis keuangan inklusif oleh telko dapat buyar seperti halnya bisnis konten.

Di sisi lain, faktor sukses keuangan inklusif juga akan dicapai melalui jaminan kualitas layanan (quality of service) yang dialami pengguna. Kualitas layanan meliputi, pertama, keamanan, yaitu keamanan data/informasi milik pelanggan dari potensi penyalahgunaan data atau informasi transaksi.

Kedua adalah kecepatan/bandwidth, untuk transaksi keuangan inklusif, untuk nasabah dapat mengakses layanan online banking, dengan rata-rata kebutuhan pengiriman data sebesar 8-16KB, setidaknya dibutuhkan kecepatan 128 Kbps.

Ketiga, kehandalan/reliability, dimana diperlukan konsistensi layanan, atau tersedia setiap saat untuk digunakan di lokasi layanan serta jaminan keberhasilan transaksi.

Kita bisa melihat percobaan Sharing Vision dalam penggunaan e-Money tahun 2014, saat melakukan transaksi di supermarket, dari 13 kali percobaan, 10 di antaranya gagal disebabkan gangguan layanan serta kegagalan request ke server. Sementara dari transaksi yang berhasil dilakukan diketahui waktu respons layanan cukup lama yaitu 2-3 menit, 15 menit, serta 25 menit.

Keempat, adalah atomicity yakni salah satu jaminan obyektif security dimana sebuah transaksi dieksekusi secara lengkap atau tidak dieksekusi sama sekali.

Misalnya sebuah transaksi penarikan uang melalui ATM, maka dua eksekusi yang harus lengkap terjadi adalah nasabah menerima uang tunai serta pengurangan jumlah saldo di rekening nasabah.

Jika salah satu eksekusi dilakukan tanpa yang lain, akan terjadi masalah seperti mesin tidak mengeluarkan uang tunai namun saldo rekening sudah terpotong atau sebaliknya yakni mesin mengeluarkan uang tunai namun saldo rekening tidak berubah.

Kesimpulannya adalah tantangan sekaligus pekerjaan rumah bersama, terutama bagi sektor telko untuk menghadirkan empat kualitas layanan, agar regulator mau membuka ruang sama besar ke semua pihak dalam memberikan layanan inklusif, sehingga yang pertama diuntungkan adalah masyarakat negeri ini.

*) Penulis, Dimitri Mahayana merupakan Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Bandung.

(ash/ash)





Hide Ads