Dalam acara Smartfren Business Outlook 2014, Direktur Keuangan Smartfren Antony Susilo memaparkan bahwa kinerja keuangan operator milik grup Sinarmas itu menunjukkan performa pertumbuhan positif dari tahun ke tahun.
"Pertumbuhan kami cukup pesat year on year, apalagi sejak Smart bergabung dengan Mobile-8 Fren pada 2010 lalu menjadi Smartfren," katanya di Hotel Pullman, Jakarta, Rabu (5/3/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Smartfren yang pada 2011 lalu hanya memiliki 7,6 juta pelanggan, meningkat jadi 11 juta pada 2012. Angka ini kemudian hanya tumbuh tipis menjadi 11,3 juta di 2013 karena saat itu Smartfren banyak menghapus nomor pelanggan yang tidak aktif demi bersih-bersih jaringan.
"Kelihatannya sedikit peningkatannya, tapi itu karena kita lakukan pembersihan customer yang tidak aktif, sleeping customer. Sengaja kita bersihkan dengan menambahkan pelanggan baru yang masih aktif. Ini dalam rangka cost efficiency. Karena buat apa beli license lagi dari vendor tapi pelanggannya tidak menghasilkan," jelasnya.
Dampak dari aksi bersih-bersih ini pun mulai terasa dari peningkatan jumlah revenue. Dari sebelumnya hanya Rp 954 miliar di 2011 naik 73% jadi Rp 1,694 triliun di 2012, dan bisa naik 50% lagi menjadi 2,4 triliun di 2013.
"Memang dari sisi jumlah subscriber terkesan hanya naik sedikit, tapi revenue kami sangat sehat. Di industri telekomunikasi, ini saya rasa yang terbesar growth-nya," ujar Antony.
Kemudian dari sisi EBITDA margin, Antony mengakui Smartfren masih minus. "EBITDA minus artinya kami masih merugi. Tapi kerugian kita terus menurun. Dari Rp 1,171 triliun di 2011 ke Rp 543 miliar di 2012, kemudian jadi Rp 100-150 miliar di 2013. Kita harapkan EBITDA positif di 2014 ini supaya bisa untung. Mudah-mudahan di kuartal kedua nanti," kata dia.
Caranya? Menurut Antony, salah satunya dengan cara menggenjot layanan data yang sekarang menjadi sumber pendapatan utama perusahaan. Tercatat, dari total pendapatan Rp 2,4 triliun pada 2013, sekitar 70% di antaranya disumbang dari layanan data.
Itu sebabnya, Smartfren dalam setahun ini akan jor-joran memasarkan Andromax dengan target empat juta unit, atau tiga kali lipat dari tahun lalu. Harapannya, jumlah pelanggan yang tadinya 11,3 juta pelanggan bisa naik jadi 15 juta di akhir tahun.
Untuk mengimpor smartphone Android ini, Smartfren mengalokasikan anggaran USD 400 juta. Sementara untuk bangun jaringan, belanja modalnya USD 100 juta atau sekitar Rp 1,2 triliun. Sementara untuk anggaran biaya lainnya, dialokasikan dana sekitar USD 25 juta hingga USD 30 juta.
Untuk dana belanja modal ini, kata Antony, 80% di antaranya diperoleh dari pinjaman bank dan sisanya menggunakan uang kas perusahaan. Sejauh ini yang memberi pinjaman adalah China Development Bank dan First Anglo Investment Company.
Antony juga mengungkapkan, Smartfren masih punya hutang sekitar USD 600 juta hingga USD 700 juta, dimana sekitar USD 80 juta hingga USD 90 juta di antaranya jatuh tempo tahun ini.
"Itu sebabnya Pak Djoko Tata Ibrahim (Deputy CEO Smartfren) diminta untuk lebih kencang lagi jualan smartphone Andromax. Kami tidak ambil untung, marginnya tipis. Kita cuma pass-on saja untuk jualan handset," pungkasnya.
(rou/ash)