"Ini di dunia cuma segelintir yang mengerti, ada satu dua negara yang menerapkan. Salah satunya adalah Niue, negara yang sangat kecil, pulau penduduknya cuma 1.500 orang. Mereka gak mungkin pakai BTS yang normal makanya pakai Open BTS. Jadi banyak negara yang butuh," ucap Onno W. Purbo, praktisi TI kepada detikINET.
Open BTS yang dikenal sebagai implementasi open source pertama dari protokol standard industri GSM dikembangkan pertama kali oleh Harvind Samra dan David A. Burgess. Tujuan utama yang ingin dicapai adalah mengurangi biaya layanan GSM di wilayah rural di negara berkembang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang jadi masalah orang yang mengerti masih bisa dihitung pakai jari. Yang pada ngutak-atik Open BTS paling banyak di Jogja, tapi belum pada ngerti banget," tambah Onno.
Mantan dosen ITB ini pun bersama ICT Watch dan Yayasan Air Putih punya misi tersendiri, yaitu menyebarluaskan teknologi Open BTS ke Tanah Air. Jadi diharapkan makin banyak orang Indonesia yang bisa membuatnya.
"Harapannya dalam setahun dua tahun ini ingin minterin (memintarkan-red.) orang. Misalnya para mahasiswa, diharapkan pula mereka bisa menulis buku tentang ini. Tak terbatas mahasiswa, para siswa SMK pun bisa," tutur Onno, yang dulu juga dikenal sebagai penggiat wajan bolic.
ICT Watch pun siap memfasilitasi para mahasiswa yang ingin mempelajari seperti apa Open BTS. Mereka bisa menghubungi ICT Watch untuk belajar langsung atau mengundang untuk menyelenggarakan workshop.
Adapun tujuan jangka panjangnya adalah menjadikan Open BTS sebagai solusi murah telekomunikasi. Dengan biaya sekitar Rp 150 juta, diharapkan penerapannya bisa meluas dan menurunkan tarif. Sebab, infrastruktur BTS yang dipakai operator saat ini bisa mencapai Rp 3 miliar. Jauh perbedaannya.
"Bayangkan juga kalau sudah banyak orang di sini yang tahu dan Open BTS jadi industri, maka nanti kita bisa ekspor. Negara di Afrika atau Amerika Selatan kan menginginkannya. Indonesia bisa menjadi yang pertama menguasainya," Onno menandaskan.
(fyk/ash)