Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate mengatakan pemerintah berencana melebur 24.400 aplikasi milik pemerintah ke dalam satu aplikasi super (super apps). Pakar siber menyoroti sisi keamanan sibernya akan rencana pemerintah tersebut.
Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha mengatakan, niat pemerintah untuk menghanguskan puluhan ribu aplikasi yang tidak bermanfaat itu merupakan langkah baik, karena bisa menghemat anggaran dan efisien.
Menurut Pratama, saat ini memang terlalu banyak aplikasi yang dimiliki oleh pemerintah, dan langkah Ini adalah akumulasi dari berbagai aplikasi dan web yang memang sudah tidak terpakai, namun juga tidak dimatikan. Misalnya, dari kasus bocornya data e-HAC Kementerian Kesehatan tahun lalu, sistem e-HAC-nya sudah tidak dipakai, namun tidak segera di-takedown.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika dilihat saat ini, di pemerintahan banyak dibuat aplikasi yang jumlahnya bisa dibilang tidak sedikit, lalu juga sangat sektoral, dan antar institusi kementerian tidak terintegrasi dengan baik. Setiap Kementerian dan Lembaga Negara, bahkan memiliki aplikasi yang hampir mirip dengan sistem yang berbeda-beda yang membuat semua data dan layanan terpisah-pisah. Belum lagi pengelolanya yang terkadang tidak jelas karena masih dilakukan oleh vendor," tutur Pratama seperti diberitakan, Senin (18/7/2022).
Disampaikannya, bisa saja ada aplikasi pemerintah yang sudah terpakai, tetapi masih 'hidup'. Hal itu tentu melahirkan ancaman baru, mulai dari anggaran, soal data yang simpang siur, sampai soal keamanan sistem itu sendiri.
"Sistem yang sudah tidak dipakai biasanya akan ditinggalkan, tidak dicek berkala, apalagi jika SDM IT sangat terbatas di instansi pemerintah. Jadi kita tidak kaget bila ada banyak aplikasi yang dimiliki oleh instansi pemerintah," tegasnya.
Ditambahkan olehnya, beberapa waktu lalu bahkan terungkap banyak situs judi yang menyusup ke berbagai situs pemerintah. Padahal situs pemerintah ini aktif, postingannya baru, bisa disimpulkan tidak terjadi pengecekan berkala sehingga situs judi bisa menyusup masuk dan aktif digunakan transaksi.
Sebenarnya, Pratama menjelaskan, Indonesia bisa memiliki aplikasi sistem satu pintu bagi masyarakat atau korporasi untuk mengakses pelayanan pemerintah, karena di tiap daerah biasanya ada sistem satu pintu untuk layanan. Selain itu, ada Dukcapil juga yang sudah memberikan akses ke instansi pemerintah dan swasta untuk mengecek data kependudukan.
"Jadi, sebenarnya kita bisa membuat super apps bagi layanan satu pintu. Namun ini perlu dilakukan riset juga lebih dulu, super apps yang akan dibuat cukup satu atau beberapa, menyesuaikan kebutuhan dari masyarakat, swasta dan instansi pemerintah sendiri," tutur dia.
Pratama menggarisbawahi bahwa untuk membuat super apps ini perlu beberapa hal, yaitu adanya pusat data nasional, yang merupakan server utama untuk nantinya menyimpan dan mengolah seluruh data yang masuk, terutama data kependudukan.
Lalu yang harus disiapkan juga, program satu data nasional yang mesti jelas data mana dari siapa yang digunakan dalam super apps ini.
"Kita bayangkan ada 2.700 database yang digunakan saat ini, jelas ini tidak efisien dan sangat tidak mendukung proses birokrasi dan bisnis. Diharapkan dari super apps ini, semua kementerian dan lembaga sudah bisa berkolaborasi dalam sebuah platform digital," kata Pratama.
Tak kalah penting ialah kewajiban menerapkan keamanan siber, baik itu sistem, jaringan, maupun aplikasi juga perlu diamankan. Karena super app bagus hanya jika keamanan siber bisa diterapkan dengan maksimal dimulai dari keamanan di sisi teknologi dan aplikasinya.
Seperti penggunaan teknologi yang paling mutakhir, misalnya penggunaan teknologi enkripsi yang canggih serta pengamanannya harus bagus yang bukan hanya untuk aplikasinya saja, tapi juga untuk pusat data termasuk server, dan semua data yang ada di dalamnya. Lalu kompetensi SDM misalnya dibentuk SDM khusus untuk menangani super apps ini.
"Dan masalah tata kelola yang baik, plus regulasi pemerintah dalam hal ini UU PDP (Perlindungan Data Pribadi) yang kuat," tutur Pratama.
(agt/afr)