McDonald's mengalami kebocoran data di bulan Juni 2021 dimana peretas berhasil mencuri data dari sistemnya di pasar Amerika, Korea Selatan dan Taiwan. Mereka segera meminta bantuan konsultan eksternal yang kompeten dan terpercaya melakukan investigasi untuk mengidentifikasi penyebab kebocoran dan mencegah hal yang sama terjadi lagi.
Apakah yang dilakukan oleh McDonald's sudah cukup? Tidak. Mereka mengumumkan data apa saja yang bocor, apakah data tersebut terkait karyawan, franchisee, dan email pelanggannya. Lalu mereka menghubungi pemilik data supaya berhati-hati dengan email phishing yang mungkin dilakukan dengan data yang bocor tersebut.
Sebagai bentuk tanggung jawabnya, mereka menghubungi pihak regulator di negara terkait dan memberikan informasi kebocoran data ini dan menghubungi satu per satu pelanggan dan karyawan yang datanya menjadi korban kebocoran sehingga tidak menjadi korban eksploitasi.
Mungkin bagi sebagian orang yang kurang mengerti etika dan tanggung jawab mengelola data, kelihatan antisipasi yang dilakukan oleh McDonald's ini sangat merepotkan. Tetapi ini adalah bentuk tanggung jawab yang memang harus disadari oleh seluruh pengelola data.
Jika terjadi kebocoran data, pengelola data jelas mendapatkan malu. Tetapi yang menjadi korban dan mengalami kerugian terbesar dari kebocoran data itu bukan pengelola data melainkan pemilik data.
Hal ini yang sering terjadi di Indonesia dimana ketika kebocoran data terjadi, pengelolanya bukannya mengevaluasi diri, mengumumkan data apa saja yang bocor dan siapa saja yang mungkin terpengaruh supaya bisa melakukan antisipasi.
Sebaliknya, malah berusaha menyangkal dengan bermain-main dengan definisi kebocoran data atau sibuk melakukan lobi politik mengamankan posisinya dengan bombastis mengatakan bahwa ia mengelola big data yang besar dan kompleks.
Padahal, justru kalau mengelola big data yang besar dan kompleks itu berarti tanggung jawabnya besar dan kompleks dan tidak boleh bocor. Pemegang KTP Indonesia sebenarnya sudah menjadi korban kebocoran data yang masif terindikasi dari banyaknya penyalahgunaan data kependudukan untuk kepentingan jahat seperti membuka rekening bodong, menggunakan KTP Aspal (KTP palsu dengan data asli) untuk mendapatkan keuntungan finansial, penyalahgunaan data kependudukan untuk kepentingan lain seperti aktivasi kartu SIM Pra Bayar, sampai gangguan telemarketer atau teror debt collector yang menyalahgunakan database yang seharusnya tidak boleh dibagikan sembarangan.
Karena sering dan maraknya hal ini terjadi, hal ini dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Padahal ini adalah hal yang tidak wajar melainkan kurang ajar dan melanggar hukum.
Halaman selanjutnya: Kebocoran data medis >>>
(rns/fay)