Hal ini disampaikan oleh chairman lembaga keamanan cyber CISSReC, Pratama Persadha, dalam acara Presmunt 2016 yang diikuti oleh peserta dari berbagai negara di Asia Tenggara.
Salah satu tema yang dibahas adalah keamanan cyber, khususnya tren perang cyber yang kini menjadi perbincangan hangat di dunia internasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Pratama, kini negara-negara maju tidak lagi berperang di area terbuka, melainkan perang di ranah cyber dengan kekuatan besar.
Amerika contohnya, anggaran untuk pertahanan cyber digelontorkan sebanyak lebih dari Rp 144 triliun. Tidak hanya itu, kini urusan cyber AS langsung di bawah Presiden Obama.
"Sampai saat ini masyarakat indonesia masih dengan sukarela, dengan senang hati memberikan informasi pribadi melalui sosial media. Diplomat dan Paspampres masih memakai email gratisan. Tentu ini harus ada kebijakan dan Undang-undang yang tegas mengatur," terang Pratama, Minggu (18/9/2016).
Ditambahkan olehnya, kini negara-negara lain berlomba mengembangkan enkripsi. Ini sebagai pertahanan terakhir agar informasi tak mudah diretas dan diketahui negara lainnya.
Bahkan kini enkrpsi tidak hanya identik untuk bertahan. Dengan kemampuannya, para peretas bahkan bisa membuat virus yang bisa melakukan enkripsi, yang terkenal dengan nama ransomware.
"Ransomware ini sangat berbahaya dan bisa membuat korban mengalami pemerasan oleh peretas. Karena itu, sebaiknya sedari dini pemerintah menyiapkan lembaga yang bertanggung jawab terhadap keamanan cyber," jelasnya.
Menurut Pratama kebutuhan akan Badan khusus yang mengamankan wilayah cyber sudah sangat mendesak. Peperangan informasi antar negara, bahkan juga melibatkan korporasi besar.
"Harusnya bisa diantisipasi segara dengan membentuk badan Cyber Nasional atau semacamnya," pungkasnya. (rou/rou)