Dedemit Maya Ramai-ramai Hantui UKM
Hide Ads

Dedemit Maya Ramai-ramai Hantui UKM

Yudhianto - detikInet
Selasa, 19 Apr 2016 18:36 WIB
Foto: GettyImages
Jakarta - Kalau dulu perusahaan besar mungkin yang paling sering jadi incaran penjahat cyber. Tapi tidak sekarang, Symantec mengungkap kalau kini Usaha Kecil dan Menengah mulai jadi target utama.

Pergeseran tren ini dimulai sejak tahun 2012, menurut Symantec, setahun sebelumnya atau di tahun 2011 hanya sebesar 18% target UKM jadi incaran kejahatan cyber.

Persentase tersebut jauh kalau dibandingkan dengan perusahaan berkelas enterprise yang porsinya mencapai 50%. Sementara sisanya adalah perusahaan yang masuk kategori menengah-atas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Barulah di 2012 angkanya meningkat, tercatat sebesar 31% UKM yang ketika itu jadi sasaran. Meski demikian, serangan di perusahaan enterprise masih mendominasi dengan persentase yang tetap 50%. Namun angka ini bergeser setelah memasuki 2013, ancaman di enterprise menurun jadi 39%.

UKM baru benar-benar mendominasi memasuki 2015, risiko ancamannya terdongkrak hingga 43%. Sedangkan enterprise justru anjlok jadi 39%.

"Data ini membuktikan kalau organisasi yang jadi target sudah beralih ke UKM," kata Halim Santoso, Director Systems Engineering ASEAN Symantec, di Hotel Intercontinental, Jakarta.

Alasannya jelas terletak di tingkat keamanan UKM yang lebih rendah dibandingkan perusahaan enterprise. Selain itu, masifnya pertumbuhan UKM juga jadi faktor pendukung bergesernya tren kejahatan cyber ini.

Seiring hal tersebut, Symantec juga mengungkap informasi soal pencurian data yang terjadi sepanjang 2015. Tercatat ada sebanyak 429 juta identitas yang terekspos ke publik akibat pencurian data. Namun nyatanya hanya sekitar 15% perusahaan yang mengakui kehilangan data, sementara 85% sisanya lebih memilih diam.

"Tingginya jumlah perusahaan yang memilih untuk menahan rincian penting setelah pelanggaran terjadi adalah tren yang meresahkan. (Padahal) transparansi sangat penting untuk keamanan. Dengan menyembunyikan dampak dari serangan, jadi lebih sulit untuk menilai risiko guna mencegah serangan di masa depan," ujar Halim. (yud/ash)