"Masalah sesungguhnya umat manusia adalah ini: Kita memiliki emosi zaman Paleolitikum, institusi abad pertengahan, dan teknologi bak dewa." Itulah kutipan Edward O. Wilson, bapak sosiobiologi. Sejak ia menyampaikan kata-kata tersebut lebih dari sedekade lalu, teknologi semakin canggih namun biologi purba tetap tak berubah.
Dalam studi terbaru, para peneliti Universitas Loughborough dan Universitas Zurich mengukuhkan gagasan ini. Mereka menemukan banyak stres dan masalah kesehatan di zaman modern dapat dikaitkan dengan fakta spesies kita menghabiskan sebagian besar sejarah evolusinya di lingkungan alami. Saat ini, banyak manusia hidup di dunia berteknologi tinggi yang penuh kendaraan, cahaya, polusi, dan layar bersinar.
"Di lingkungan leluhur, kita beradaptasi dengan baik untuk menghadapi stres akut demi menghindari atau menghadapi predator. Singa akan datang sesekali dan Anda harus siap membela diri atau lari. Kuncinya adalah singa itu pada akhirnya akan pergi," ujar Colin Shaw, penulis studi dari Universitas Zurich.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini, ancaman lama berupa predator atau perang antarsuku sebagian besar telah hilang, namun gangguan baru muncul dalam bentuk jalanan padat, kemacetan, tekanan pekerjaan, media sosial, dan sebagainya. Meski tampak sangat berbeda, semua pemicu stres ini mengaktifkan sistem biologis yang sama.
"Tubuh kita bereaksi seolah-olah semua pemicu stres ini adalah singa," jelas Shaw.
Perbedaan utamanya adalah pemicu stres modern tidak hilang saat kita bereaksi. Jika kita menghadapi atau menghindari seekor singa, masalahnya akan selesai. Namun, sangat sadar akan suara mobil bising, notifikasi ponsel, dan keributan di internet tak menyelesaikan apa pun. Itu membuat manusia dalam kondisi tegang dan waspada tingkat rendah yang terus-menerus.
Stres halus namun tak kunjung henti ini membawa dampak signifikan bagi kesehatan. Peneliti berpendapat hal ini bermanifestasi seperti mengganggu reproduksi, berkontribusi pada kemandulan dan penurunan sperma, melemahkan sistem kekebalan yang memicu alergi dan autoimun, mengganggu fungsi kognitif yang menyebabkan perkembangan lambat dan penurunan daya pikir serta mengurangi kinerja fisik.
"Ada sebuah paradoks di mana, di satu sisi, selama tiga ratus tahun terakhir kita telah menciptakan kekayaan, kenyamanan, dan layanan kesehatan uar biasa bagi banyak orang. Namun di sisi lain, beberapa pencapaian industri ini memberikan efek cukup merugikan pada fungsi kekebalan, kognitif, fisik, dan reproduksi kita," cetus Shaw.
Masalah ini diperkirakan akan semakin parah dalam skala global. Sekitar 45 persen dari 8,2 miliar penduduk Bumi saat ini tinggal di perkotaan. Angka tersebut diperkirakan naik menjadi dua pertiga pada tahun 2050. Itu berarti jutaan demi jutaan orang lagi akan mengalami bahaya terselubung dari dunia modern.
Solusinya, menurut para peneliti, adalah memahami bahaya-bahaya ini dengan lebih baik dan menemukan cara baru untuk membatasinya. "Salah satu pendekatannya adalah secara mendasar memikirkan kembali hubungan kita dengan alam, memperlakukannya sebagai faktor kesehatan utama dan melindungi atau meregenerasi ruang-ruang yang menyerupai lingkungan masa lalu kita sebagai pemburu-pengumpul," kata Shaw.
"Kita perlu menata kota kita dengan benar-dan pada saat yang sama meregenerasi, menghargai, dan menghabiskan lebih banyak waktu di ruang-ruang alami," imbuhnya yang dikutip detikINET dari IfL Science.
(fyk/afr)











































