Pemerintahan Donald Trump mempercepat rencana Amerika Serikat (AS) untuk menempatkan reaktor nuklir di Bulan, guna memberi daya pada pangkalan bagi manusia di satelit alami Bumi tersebut.
Dikutip dari NPR, reaktor dijadwalkan akan diluncurkan ke Bulan pada 2030. Target ambisius ini membuat beberapa komunitas ilmiah khawatir tentang tingginya biaya dan jadwal yang berpotensi tidak realistis.
Rencana ini sejalan dengan tujuan AS untuk mengembalikan astronaut ke Bulan dan menjadi pemimpin dalam eksplorasi ruang angkasa. Sementara itu, pesaingnya, China dan Rusia juga menargetkan penggunaan tenaga nuklir di Bulan pada akhir dekade ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Acting NASA Administrator Sean Duffy menyebutkan, penggunaan energi nuklir sebagai sumber daya di Bulan diperlukan untuk menopang kehidupan di sana, dan bahwa AS tertinggal dalam upaya tersebut.
"Ada bagian tertentu di Bulan yang semua orang tahu adalah yang terbaik. Kita punya es di sana. Kita punya sinar Matahari di sana. Kita ingin sampai di sana lebih dulu dan mengklaimnya untuk AS," kata Duffy.
Berikut ini yang perlu diketahui tentang rencana AS, dan bagaimana penggunaan reaktor nuklir sebagai sumber tenaga di Bulan dapat berhasil.
Mengapa ada reaktor nuklir di Bulan?
Wahana antariksa yang mengorbit Bumi atau ditempatkan di Bulan biasanya ditenagai oleh panel surya. Namun, untuk pendudukan manusia jangka panjang di Bulan, tenaga surya saja tidak akan cukup, menurut Roger Myers, pakar tenaga nuklir berbasis antariksa.
"Matahari terbenam di Bulan selama dua minggu. Kita harus punya sumber energi lain: Matahari dan baterai tidak berfungsi. Kita harus punya tenaga nuklir," katanya.
NASA kini ingin meluncurkan reaktor nuklir dengan daya listrik minimal 100 kilowatt, menurut arahan tersebut. Hal ini akan menghasilkan daya yang lebih kecil daripada reaktor nuklir pada umumnya di AS dan hanya dapat memasok listrik untuk 70 hingga 80 rumah, menurut para ilmuwan.
Bagaimana cara kerjanya?
Reaktor nuklir di Bulan bekerja dengan cara yang hampir sama seperti reaktor di Bumi, menurut Bhavya Lal, mantan administrator asosiasi untuk teknologi, kebijakan, dan strategi di NASA. Reaksi nuklir terkendali dalam bahan bakar uranium digunakan untuk menghasilkan panas yang selanjutnya dapat digunakan untuk menghasilkan listrik.
Hal ini sangat mirip dengan cara kerja 94 reaktor nuklir komersial di AS, menurut Departemen Energi AS. Sebuah reaktor nuklir standar di AS menghasilkan setidaknya 1 gigawatt daya, yang setara dengan 100 juta bola lampu LED.
Perbedaan utama antara Bumi dan Bulan adalah, di Bumi ada atmosfer, jadi manusia bisa mendinginkan reaktor-reaktor ini. Banyak reaktor nuklir didinginkan oleh air, yang kemudian membuang kelebihan panas ke lingkungan.
Tanpa atmosfer atau perairan, reaktor nuklir di Bulan perlu memancarkan kelebihan panasnya langsung ke luar angkasa. Artinya, reaktor membutuhkan radiator besar yang dapat membantu menghilangkan beban panas. Desain reaktor juga mengharuskan reaktor beroperasi pada suhu yang lebih tinggi daripada di Bumi.
Apa saja risikonya dan bahayanya?
"Gempa Bulan dan hantaman meteorit dapat merusak reaktor, tetapi kemungkinannya kecil. Lebih lanjut, bahkan jika sesuatu terjadi di permukaan, tidak ada angin, tidak ada air yang dapat memindahkan radioaktivitas," kata Patrick McClure, kepala operasi SpaceNukes, perusahaan yang mengembangkan reaktor nuklir berbasis ruang angkasa.
Hal ini berbeda dengan Bumi. Kejatuhan radioaktif di Bumi, dapat menyebar hingga jarak jauh oleh angin dan hujan.
Kathryn Huff, profesor teknik nuklir, plasma, dan radiologi di University of Illinois di Urbana-Champaign, mengatakan bahwa reaktor nuklir yang berada di Bulan bukanlah masalah keselamatan utama.
Kekhawatiran utamanya adalah bagaimana reaktor tersebut dapat ditempatkan di sana dan apa yang terjadi setelah masa pakainya berakhir. Belum jelas berapa lama reaktor tersebut dapat beroperasi, tetapi sebagian besar reaktor di AS dapat bertahan setidaknya 80 tahun.
"Itu tidak bisa meledakkan Bulan. Jika Anda mempertimbangkan untuk membawa reaktor itu keluar dari Bulan suatu hari nanti, memastikan masuknya kembali reaktor itu ke atmosfer Bumi tanpa cacat akan sangat penting karena saya pikir tidak ada yang benar-benar ingin melihat insiden Kosmos 954 terulang," kata Huff.
Kosmos 954, satelit bertenaga nuklir milik Rusia, mengalami kegagalan fungsi pada Januari 1978 saat memasuki kembali atmosfer Bumi dan meledak di atas Kanada, menyebarkan puing-puing radioaktif ke seluruh negara tersebut.
McClure mengatakan bahwa bahan bakar uranium yang digunakan dalam reaktor Bulan mana pun akan memiliki tingkat radioaktivitas yang sangat rendah saat diluncurkan.
"Bahkan jika terjadi kecelakaan saat roket lepas landas, dosis aktual yang diterima publik akan jauh di bawah batas minimum yang ditetapkan oleh peraturan keselamatan," ujarnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan, reaktor tidak akan diaktifkan hingga mencapai apa yang disebut sebagai 'orbit aman nuklir', setidaknya 1.000 km di atas Bumi.
(rns/rns)