Musim yang kita kenal kini terus berubah. Aktivitas manusia mengubah Bumi dengan cepat, dan pola musim yang dulunya dapat diandalkan kini mulai tidak lazim.
Padahal, sepanjang sejarah, manusia memandang musim sebagai periode waktu yang relatif stabil dan berulang, yang secara tepat menyelaraskan kegiatan pertanian, perayaan budaya, dan rutinitas dengan siklus alam.
Dalam studi terbaru yang dilakukan Felicia Liu, dosen bidang keberlanjutan di University of York, dan Thomas Smith profesor madya di Environmental Geography, London School of Economics and Political Science, menyebutkan bahwa musim-musim baru sedang bermunculan.
"Musim-musim yang muncul ini sepenuhnya baru dan antropogenik, atau dengan kata lain, diciptakan oleh manusia," tulis Felicia dan Thomas dalam laporan mereka yang dikutip dari The Conversation, Jumat (1/8/2025).
Contohnya termasuk 'musim kabut asap' di negara-negara utara dan khatulistiwa di Asia Tenggara termasuk Indonesia, ketika langit dipenuhi asap selama beberapa minggu. Hal ini disebabkan oleh pembakaran vegetasi secara luas untuk membuka hutan dan membuka lahan pertanian selama musim kemarau.
Atau ada juga 'musim sampah' tahunan, yakni ketika pola pasang surut membawa plastik ke pantai di Pulau Bali, Indonesia, yang kerap terjadi antara November dan Maret.
"Pada saat yang sama, beberapa musim menghilang sepenuhnya, dengan konsekuensi yang mendalam bagi ekosistem dan budaya. Musim-musim yang punah ini dapat mencakup perubahan drastis atau bahkan hilangnya perilaku migrasi hewan, seperti menurunnya musim kawin burung laut di Inggris utara," kata Felicia dan Thomas.
Perubahan iklim juga menghentikan perayaan musim olahraga musim dingin tradisional mengingat salju semakin langka di wilayah pegunungan.
Simak Video "Video: Stasiun Luar Angkasa Versi Kutub Utara"
(rns/fay)