Pemahaman yang lebih baik mengenai cuaca ekstrem sangat berguna untuk meningkatkan akurasi prediksi, serta memaksimalkan mitigasi bencana agar dampaknya bisa diminimalkan.
Selain sifatnya yang tidak biasa dan tidak tergantung musim, disebutkan Dr Erma Yulihastin, Pakar Klimatologi dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), cuaca dikatakan ekstrem jika dampaknya besar, luas, bahkan parah.
"Kita menyebutnya bisa juga katastropik terhadap lingkungan yang di dalamnya ada infrastruktur juga yang rusak termasuk juga bisa menghilangkan nyawa, makhluk hidup, dan lain sebagainya," tuturnya saat live Eureka! Cuaca Ekstrem, Senin (12/2).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Prediksi Cuaca Saat Nyoblos 14 Februari 2024 |
Dalam paparannya, Erma menjelaskan bagaimana mekanisme cuaca ekstrem di wilayah maritim seperti Indonesia terjadi. Bentuk cuaca ekstrem dikategorikan menjadi tiga, yaitu squall line, bow echo dan Mesoscale Convective Complex (MCC).
"Squall line storm merupakan sistem badai yang terbentuk dari pertumbuhan awan secara horizontal dan memanjang pada lapisan atas dari awan atau anvil. Squall line dapat dibentuk dari beberapa sel hujan yang bergabung membentuk garis," kata Erma.
Erma memberi gambaran betapa mengerikannya dampak cuaca ekstrem, dan karenanya masyarakat harus mewaspadainya. Salah satunya saat terjadi badai squall line dan banjir rob Jawa-Bali pada 25 Mei-5 Juni 2020 dan 20-21 Mei 2020.
"Squall line pada bulan Mei tersebut mempunyai siklus hidup panjang (>24 jam), penjalaran terjadi secara cepat (13,8 m/det) dan mengalami penguatan kembali setelah menyeberang Selat Sunda," jelas Erma.
Bentuk cuaca ekstrem lainnya yaitu bow echo storm yang merupakan formasi berbentuk busur atau boomerang dari garis badai squall line karena terdapat pusaran angin kencang yang dapat dikenali dari radar.
"Jadi perbedaan squall line dengan bow echo yaitu kalau bow echo dihasilkan dari single (1) sel hujan yang kemudian memanjang dan melengkung, sedangkan squall line dari awal sudah panjang-panjang," paparnya.
Ia mencontohkan fenomena seperti puting beliung terjadi di Cimenyan, Bandung pada 28 Maret 2021 dikarenakan bow echo. Dijelaskan olehnya, bow echo terbentuk dipicu oleh prakondisi pembentukan MCC yang di-remote oleh bibit siklon tropis Seroja.
"Pada fenomena ini terbentuk dua meso-vorteks yang memicu puting beliung dengan kekuatan 56 km/jam. Badai ekstrem yang terjadi bisa disertai angin yang kencang sekali. Angin kencang ini yang bisa merusak infrastruktur jika terjadi di darat," terangnya.
Sedangkan MCC merupakan sistem badai yang terbentuk dari gabungan beberapa klaster awan dalam formasi bulatan dengan struktur yang memenuhi kriteria terdapat inti dan selimut awan serta harus memenuhi kriteria luas area minimum.
Contoh dari fenomena ini pernah terjadi banjir di Bandung pada 23-25 Maret 2021. Selain itu ada juga MCC kembar yang terjadi pada 15-16 Juli 2021 yang berdampak banjir bandang di Luwu, Sulawesi Selatan.
"Saat itu ternyata ada MCC kembar di utara dan selatan, badai tidak luruh-luruh berada di situ terus dan itu memicu hujan ekstrem yang menimbulkan banjir bandang," terang Erma.
Saat itu, sekitar 80 orang meninggal dunia. Erma menyebut, peristiwa di Luwu menjadi salah satu bencana besar akibat cuaca ekstrem selain Siklon Tropis Seroja yang menghantam NTT April 2021 yang menelan korban jiwa 181 orang.
Erma menambahkan, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2022 memperlihatkan, di seluruh Indonesia, puting beliung menduduki peringkat kedua bencana terjadi.
"Biasanya banjir (peringkat) satu, (nomor) dua longsor, (nomor) tiga baru puting beliung. Jadi sekarang ini sudah lebih sering terjadi puting beliung dibanding dengan longsor," paparnya.
"Begitu banyak korban yang diakibatkan oleh bencana seperti ini. Dan kita berharap tidak terulang kondisi-kondisi seperti ini kalau masyarakat waspada dan punya kemampuan untuk melakukan mitigasi mandiri," imbuhnya.
(rns/afr)