Apa Itu Carbon Capture yang Disebut Gibran di Debat Cawapres
Hide Ads

Apa Itu Carbon Capture yang Disebut Gibran di Debat Cawapres

Rachmatunnisa - detikInet
Selasa, 23 Jan 2024 17:17 WIB
Debat keempat Pilpres 2024 selesai digelar. Sebelum ditutup ketiga cawapres menyampaikan pesan penutup.
Apa Itu Carbon Capture yang Disebut Gibran di Debat Cawapres. Foto: Pradita Utama/detikcom
Jakarta -

Dalam Debat Pilpres keempat, Cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka mendapat pertanyaan terkait pajak karbon. Dalam penjelasannya, ia juga menyebut soal carbon capture.

Isu ini sebenarnya sudah sempat disinggung Gibran sebelumnya di Debat Cawapres kedua mengenai Carbon Capture and Storage (CCS). Gibran menjelaskan, jika berbicara mengenai pembangunan rendah karbon, maka pasti harus membahas pajak karbon dan CCS.

"Agenda ke depan kita harus mendorong transisi menuju energi hijau. Kita dorong terus energi hijau berbahan baku nabati, tidak boleh lagi ketergantungan energi fosil," sebut Gibran.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Carbon Capture and Storage

Carbon Capture and Storage (CCS) merupakan salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer.

Mengutip penjelasan di laman Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), teknologi ini merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (flue gas), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage).

ADVERTISEMENT

Cara Kerja CCS

Pemisahan dan penangkapan CO2 dilakukan dengan teknologi absorpsi yang sudah cukup lama dikenal oleh kalangan industri. Penangkapan CO2 biasa digunakan dalam proses produksi hidrogen baik pada skala laboratorium maupun komersial.

Sementara itu, pengangkutan dilakukan dengan menggunakan pipa atau tanker seperti pengangkut gas pada umumnya (LPG, LNG). Sedangkan untuk penyimpanan, dilakukan ke dalam lapisan batuan di bawah permukaan Bumi yang dapat menjadi perangkap gas hingga tidak lepas ke atmosfer, atau dapat pula diinjeksikan ke dalam laut pada kedalaman tertentu.

Pembangkit Listrik Batu Bara Penyumbang Emisi Terbesar

Menurut International Energy Agency (IEA), volume emisi CO2 akibat pembakaran bahan bakar fosil mencapai 56% dari total semua emisi global. Persentase ini berasal dari sekitar 7.500 instalasi besar peng-emisi CO2 (large stationary point sources) yang mengemisikan lebih dari 1 juta ton CO2 setiap tahunnya.

Kajian IEA lebih lanjut menyimpulkan bahwa dari jumlah tersebut, pembangkit listrik batubara (PLTU) merupakan sumber emisi utama yang mencapai lebih dari 60%. 'Sumbangan' lainnya berasal dari pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) mencapai 11% dan pembagkit listrik tenaga diesel (PLTD) 7%. Industri lain menyumbang sekitar 3-7%.

"Dengan demikian, untuk dapat mengurangi emisi CO2 dalam jumlah besar, logis jika dilakukan pengendalian (penangkapan CO2) yang dihasilkan dalam gas buang dari pembangkit listrik," demikian pernyataan di laman tersebut.

CCS di Indonesia

Indonesia menjadi pelopor di ASEAN dalam penerapan regulasi CCS. Guna mendukung percepatan implementasi CCS di ASEAN, Indonesia mengembangkan peraturan serta kajian pemetaan penyimpanan CO2 di wilayah kerja migas. Hal ini juga merupakan bagian dari upaya Indonesia mencapai Net Zero Emission pada 2060.

Saat ini Indonesia telah memiliki 15 proyek kajian CCS yang tersebar di wilayah Aceh hingga Papua. Sebagian besar proyek tersebut ditargetkan onstream sebelum tahun 2030, dengan total potensi injeksi CO2 antara tahun 2030 hingga 2035 berkisar 25 hingga 68 juta ton.

Beberapa proyek CCS tersebut termasuk dalam ruang lingkup Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2023, yang sesuai ketentuan bahwa sumber CO2 berasal dari kegiatan usaha hulu minyak dan gas dan pemanfaatan CO2 dari industri lain hanya diperbolehkan untuk kegiatan CCS dalam rangka meningkatkan produksi minyak dan gas.

Tantangan Penerapan CCS

Upaya mengurangi emisi CO2 ke atmosfer dengan CCS tidak semudah yang dibayangkan, mengingat gas buang tersebut pada umumnya memiliki karakteristik bertekanan rendah dan konsentrasi CO2 yang juga rendah, sehingga memerlukan proses tambahan yang membutuhkan energi cukup besar untuk pemisahannya.

"Kenyataan ini menjadikan tantangan ke depan yang harus diantisipasi agar dapat menciptakan proses penangkapan CO2 yang efektif dan efisien," tulis Kementerian ESDM.

Walaupun secara umum teknologi CCS ini cukup menjanjikan untuk dipergunakan dalam menangani sumber emisi CO2 yang besar seperti pembangkit listrik berbahan bakar fosil atau industri besar lainnya, masih banyak hal yang perlu diselesaikan sebelum CCS dapat diterapkan secara penuh, seperti perbaikan teknologi, legalisasi, dan pembiayaan.




(rns/fay)