Hanya 20 hingga 30 lobster pohon yang tersisa di alam liar. Populasi ini ditemukan kembali pada tahun 2001 setelah serangga tersebut dianggap punah selama 80 tahun.
Dryococelus australis, demikian nama ilmiah spesies tersebut, saat ini bertahan hidup dalam bahaya di singkapan gunung berapi yang nyaris vertikal yang disebut Piramida Bola (Ball's Pyramid).
Piramida Bola adalah sebuah pulau kecil tak berpenghuni di Samudera Pasifik yang terletak 20 kilometer tenggara Pulau Lord Howe. Singkapan basal berbatu yang curam adalah sumbatan gunung berapi perisai dan kaldera yang terkikis yang terbentuk 6,4 juta tahun lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rawan terhadap peristiwa cuaca buruk dan tanah longsor, Piramida Bola bukanlah tempat yang aman bagi spesies yang terancam punah.
Karenanya, beberapa kebun binatang di seluruh dunia memboyong lobster pohon ini turun dari tepi tebing dan membawa mereka ke kebun binatang.
"Mendekatkan tamu kami dengan spesies langka dan ikonik ini adalah cara yang bagus untuk meningkatkan kesadaran terhadap hewan-hewan yang kurang dikenal yang hidup di dunia," jelas ahli entomologi Kebun Binatang San Diego, Paige Howorth, dikutip dari Science Alert.
"Dalam banyak hal, penyerbukan, dekomposisi, predasi, dan hanya sebagai makanan bagi hewan lain, invertebrata memungkinkan adanya kehidupan bagi kita semua," jelasnya.
Serangga ini pernah berkerumun di dahan pohon ara Teluk Moreton (Ficus macrophylla) dan pohon teh berbulu (Leptospermum lanigerum) di pulau asal mereka, di lepas pantai timur Australia.
Namun hewan berbentuk seperti tongkat seukuran telapak tangan ini terbukti menjadi makanan yang sempurna untuk invasi tikus pada tahun 1918. Tikus-tikus itu berpesta, berkembang biak, dan berpesta lagi, hingga tidak ada satu pun lobster pohon yang dapat ditemukan.
Setelah tidak terlihat sejak tahun 1920, serangga yang juga dijuluki Lord Howe Island stick insect ini dinyatakan punah pada tahun 1986.
Namun rumor tentang kotoran dan kulit serangga dari para pendaki pada tahun 1960-an mengungkap adanya perlindungan rahasia serangga tersebut di tumpukan laut vulkanik yang berjarak 23 kilometer dari pulau.
Kemampuan bertahan hidup yang luar biasa ini, meskipun jumlahnya sangat sedikit di tempat terpencil, kemungkinan besar disebabkan oleh kemampuan betina untuk mengkloning dirinya sendiri melalui reproduksi partenogenetik.
Para peneliti awalnya ragu untuk menempatkan populasi yang tersisa pada risiko lebih lanjut sehingga memutuskan untuk memusnahkan individu-individu tersebut. Namun pada tahun 2003, tim penyelamat mengekstraksi empat serangga untuk memulai program perkembangbiakan.
Bersama-sama, Kebun Binatang Melbourne, Bristol (sekarang ditutup), dan San Diego telah membentuk populasi penangkaran, yang kini berjumlah ribuan.
Sejak tahun 2019, telah dilakukan upaya besar-besaran untuk membasmi tikus di Pulau Lord Howe dengan bantuan anjing pendeteksi tikus. Dari siput darat yang terancam punah hingga Lord Howe Island stick insect, kebangkitan satwa liar unik di pulau ini pun terjadi.
"Apa yang sedang terjadi adalah kebangkitan ekologi," kata Hank Bower, warga Pulau Lord Howe.
Pihak kebun binatang berharap populasi mereka yang kini berkembang pesat akan digunakan untuk mengembalikan serangga tersebut ke pulau asalnya setelah pulau tersebut dianggap aman dan bebas tikus.
"Spesies ini pernah menjadi pengubah utama materi vegetatif dan memainkan fungsi penting dalam ekologi pulau ini sebagai insinyur ekosistem, meningkatkan kekayaan dan mempercepat daur ulang nutrisi,"kata ahli ekologi pemerintah negara bagian NSW, Nicholas Carlile.
"Mereka saat ini merupakan bagian yang hilang dari teka-teki dan akan sangat fenomenal melihat mereka kembali ke hutan suatu hari nanti," tutupnya.
Saksikan Live DetikPagi:
(rns/rns)