Kisah Kebakaran Parah Tahun 1835 yang Hancurkan New York
Hide Ads

Kisah Kebakaran Parah Tahun 1835 yang Hancurkan New York

Rachmatunnisa - detikInet
Selasa, 19 Sep 2023 18:14 WIB
Sebuah ilustrasi yang menunjukkan reruntuhan bangunan-bangunan di New York setelah Kebakaran Besar tahun 1835.
Sebuah ilustrasi yang menunjukkan reruntuhan bangunan-bangunan di New York setelah Kebakaran Besar tahun 1835. Foto: Nicolino Calyo/Times
Jakarta -

Di malam yang sangat dingin tanggal 16 Desember 1835, sebuah gudang di pusat kota di New York, Amerika Serikat terbakar. Angin kencang mengipasi api, meratakan lebih dari 17 blok kota dan membakar sebagian East River.

Seorang pedagang bernama Gabriel Disosway teringat bagaimana saat malam tiba, cuaca di tahun itu merupakan suhu terdingin yang dialami warga dalam tiga puluh enam tahun.

Kemudian pada pukul 21.00 di malam itu, anggota City Watch menemukan api berkobar di Comstock & Andrews di Merchant Street. "Kami menemukan seluruh bagian dalam gedung terbakar mulai dari ruang bawah tanah hingga atap," kenang petugas William Hays seperti dituliskan oleh Time.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Petugas pemadam kebakaran berlari menuju kobaran api. Mereka memanfaatkan hidran di dekatnya, dan mencari air tambahan menuju ke kaki Wall Street untuk menerobos es East River dan memompa lebih banyak air.

Namun cuaca di luar sangat dingin sehingga ketika air mengalir, angin kencang menghantam mereka dan mustahil untuk menghentikan api. Kota Manhattan dipenuhi jalan yang berkelok, dan dalam waktu 15 menit, lima puluh bangunan telah terbakar.

ADVERTISEMENT

Kobaran api menghancurkan tempat usaha, gereja, rumah, dan toko tanpa pandang bulu. Panasnya terbukti begitu hebat hingga melelehkan daun jendela, pintu, dan selokan logam.

Lalu terjadi ledakan dahsyat disertai suara meriam. Tak lama kemudian, ledakan kedua terjadi, lalu ledakan berikutnya dan ledakan lainnya yang berasal dari gudang. Tong minuman keras dan mesiu juga meledak.

Di dermaga Manhattan, tong-tong berisi minyak ikut terbakar dan terpentin tumpah. New York Evening Post melaporkan bahwa isinya mengalir seperti aliran lahar yang terbakar dan menyebar ke permukaan sungai sejauh beberapa ratus meter, sehingga menimbulkan nyala api yang terang dan memberikan penampakan sungai yang terbakar.

Keesokan paginya, semua selang pemadam kebakaran membeku, dan Wali Kota Cornelius Lawrence, kepala pemadam kebakaran James Gulick, James Alexander Hamilton dan lainnya memutuskan bahwa mereka perlu meledakkan gedung untuk membuat sekat api guna memadamkan api.

Hasil investigasi menemukan bahwa sumber awal kebakaran adalah pipa gas yang pecah dan dipicu oleh kompor batu bara. Tidak ada pihak yang dipersalahkan dalam peristiwa ini.

New York bangkit kembali

Kawasan yang mengalami kebakaran sebagian besar merupakan kawasan bisnis. Sejumlah orang tewas dalam peristiwa ini. Namun yang paling disoroti adalah, kebakaran tersebut menghancurkan 674 bangunan dengan kerugian setara dengan USD 600 juta (sekitar Rp 9,2 triliun) saat ini.

Saat itu, New York terletak di ujung selatan pulau, dan kota yang dibangun hanya membentang hingga sekitar 14th St. Villages dan lahan pertanian tersebar di utara. Namun seiring dengan pulihnya pusat kota, jalan raya diperluas, rumah-rumah baru dibangun, para pebisnis dan warga yang mencari lebih banyak peluang meninggalkan kantor dan tempat lama mereka lalu mendirikan kantor dan tempat kegiatan baru yang lebih besar di daerah pusat kota.

Dengan berkembangnya bisnis, para pekerja yang mencari pekerjaan dan imigran yang mencari rumah baru berbondong-bondong ke New York. Toko-toko, restoran dan hotel dibuka, dan lebih banyak orang-orang dengan beragam profesi memadati kota.

New York tumbuh dengan pesat, dengan jumlah penduduk meningkat tiga kali lipat dari 268.089 jiwa pada tahun 1835 menjadi 813.669 jiwa pada tahun 1860. Perubahan terjadi semakin cepat dengan dibangunnya saluran air yang mengalirkan pasokan air dalam jumlah besar ke kota.

Pertumbuhan dan peningkatan industri yang fenomenal membuat para pemimpin kota menyadari bahwa mereka perlu 'paru-paru kota'. Pada pertengahan tahun 1850-an, lebih dari satu mil persegi di tengah pulau disisihkan untuk area hijau yang luas dan terkenal hingga sekarang, yakni Central Park.

Lebih penting lagi, berbagai perubahan yang terjadi pada tahun-tahun tersebut membuka peluang bagi terjadinya perubahan yang lebih besar setengah abad kemudian.

Area tersebut ditata, pembangunan konstruksi dipercepat, dan para pejabat mulai mengamati area sekitarnya. Kemudian pada 1 Januari 1898, Manhattan, Bronx, Brooklyn, Queens, dan Staten Island bergabung untuk membentuk Greater New York.

Kota yang tadinya seluas 65 mil persegi berubah menjadi kota metropolitan seluas 304 mil persegi, dan populasinya meningkat hampir dua kali lipat dari 1,8 juta menjadi 3,35 juta. Perubahan ini menjadikan New York City saat itu menjadi kota terbesar kedua di dunia, setelah London.




(rns/fay)
Berita Terkait