Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan Gerhana Matahari Hibrida pada 20 April 2023 merupakan fenomena alam langka yang sayang dilewatkan begitu saja.
Kepala Pusat Antariksa BRIN, Emanuel Sungging, mengatakan bahwa Gerhana Matahari Hibrida menjadi momen yang baik untuk dilakukan riset antariksa.
Disampaikannya, riset disiplin ilmu lain juga dapat memanfaatkan momen yang langka ini untuk penelitian terkait disiplin ilmu masing-masing. Ia mencontohkan, peneliti dari disiplin ilmu hayati bisa memanfaatkan momen Gerhana Matahari Hibrida, apakah ada pengaruh atau tidak terhadap makhluk hidup baik tumbuhan atau hewan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selain itu, seperti di bidang ilmu sosial, peneliti di bidang tersebut juga dapat melakukan penelitian etnoastronomis, terkait bagaimana budaya yang timbul di masyarakat terkait adanya Gerhana Matahari Hibrida. Adanya momen ini membawa kesempatan untuk melakukan kolaborasi lintas disiplin," ujar Sungging dikutip dari situsnya, Jumat (14/4/2023).
Adapun di bidang antariksa, kata Sungging, bahwa timnya akan akan melakukan pengamatan di Biak Numfor yang berada tepat di lintasan gerhana matahari. Ada tiga hal yang ia dan timnya akan lakukan, yaitu riset terkait korona, dampak gerhana pada ionosfer, dan perubahan kecerlangan.
Untuk mengukur korona akan menggunakan indeks flattening Ludendorf agar dapat melihat bentuk dan struktur korona. Nilai indeks yang dihasilkan akan diturunkan untuk mengidentifikasi aktivitas magnetik dan memprediksi siklus matahari.
Adapun, indeks flattening Ludendorf sendiri merupakan parameter kuantitatif untuk menganalisis bentuk dan struktur korona global. Indeks ini juga menjadi salah satu indicator parameter medan magnetic Matahari dalam jangka panjang, ujar Sungging lebih lanjut.
"Dengan menggunakan alat sederhana, kami akan mengukur dinamika ionosfer. Mengapa ionosfer menjadi penting, karena sangat berdampak pada akurasi GPS dan juga terkait komunikasi terutama komunikasi maritim yang menggunakan kanal HF (High Frequency). Kami akan melihat pada saat terjadinya gerhana ini ada gangguan atau tidak," lanjutnya.
Gerhana Matahari Hibrida terjadi ketika dalam satu waktu fenomena gerhana ada daerah yang mengalami Gerhana Matahari Total dan ada pula yang mengalami Gerhana Matahari Cincin (tergantung dari lokasi pengamat). Kejadian tersebut disebabkan oleh kelengkungan Bumi.
Sungging menyebutkan Indonesia sudah mengalami gerhana matahari beberapa kali yaitu pada tahun 1983 terjadi Gerhana Matahari Total, Gerhana Matahari Cincin tahun 2019, dan Gerhana Matahari Total tahun 2016.
Gerhana Matahari Hibrida yang akan terjadi pada 20 April 2023 nanti akan berlangsung selama 3 jam 5 menit mulai dari durasi kontak awal hingga akhir jika diamati dari Biak, dengan durasi fase tertutup total 58 detik.
Sementara itu jika diamati dari Jakarta, durasi dari kontak awal hingga akhir adalah 2 jam 37 menit. Namun jika diamati dari Jakarta, persentase tertutupnya matahari hanya sebesar 39%.
(agt/fay)