Kesuksesan pelepasan satelit nano Surya Satellite-1 (SS-1) dari Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) ke orbit Bumi rendah atau Low Earth Orbit (LEO) pada Jumat (6/1/2023), merupakan sejarah baru dalam pencapaian industri antariksa nasional. Hal ini karena peluncuran satelit nano relatif baru di Indonesia.
Untuk diketahui, mayoritas satelit yang beroperasi dan dipakai saat ini merupakan satelit konvensional atau satelit mikro. Apa bedanya satelit nano dengan satelit konvensional?
Project Leader SS-I, Setra Yoman Prahyang menyebutkan, satelit konvensional dan satelit nano pada dasarnya punya perbedaan mencolok dari segi ukurannya.
"Satelit konvensional itu satelit yang besar skalanya ukurannya meter. Sedangkan satelit nano ukurannya jauh lebih kecil, dalam ukuran centimeter seperti satelit yang kami kembangkan, bentuknya kubus dan kecil," kata Setra dalam konferensi pers usai peluncuran SS-1 dari ISS menuju LEO, Jumat (6/1).
Ukurannya yang kecil, menurut Setra, memberikan keuntungan yakni lebih mudah dikembangkan. "Dalam perspektifku sebagai mahasiswa pada waktu itu, karena kecil, lebih mudah untuk dimanufaktur, lebih mudah untuk didesain sehingga lebih kami jangkau, sesuatu yang kami bisa buar," ujarnya.
Sedangkan satelit konvensional, berkebalikan dari satelit nano, butuh lebih banyak sumber daya untuk mengembangkannya. Bagi para mahasiswa atau yang baru memulai pengembangan, tentu skala yang lebih besar sulit dijangkau.
"Satelit konvensional sangat complicated, butuh profesional dari sisi mekaniknya, integrasinya, banyak sekali. Dengan satelit yang lebih kecil, karena lebih mudah untuk dibuat, kami bisa mulai mengembangkan untuk keperluan akademis maupun bisnis," urai Setra.
Secara fungsi pun terdapat perbedaan antara satelit nano dan satelit konvensional. Karena ukuran yang lebih kecil, kata Setra, ada keterbatasan untuk memasukkan sejumlah komponen di dalam satelit nano.
"Contohnya satelit untuk komunikasi. Di satelit nano, kapasitas untuk komunikasi lebih sedikit ketimbang satelit lain yang lebih besar, jadi kita harus selektif," jelasnya.
SS-1 merupakan satelit nano atau cubesat yang berukuran 10 x 10 x 11,35 cm dengan berat 1 hingga 1,3 kg. Ukurannya ini jauhblebih kecil dari satelit mikro atau tubesat yang biasanya memiliki berat 50-70 kg.
SS-1 dikembangkan oleh tujuh orang mahasiswa Surya University yang saat ini sudah alumni, yaitu Setra Yoman Prahyang, Hery Steven Mindarno, M. Zulfa Dhiyaulfaq, Suhandinata, Afiq Herdika Sulistya, Roberto Gunawan, dan Correy Ananta Adhilaksma.
Peluncuran dan pelepasan SS-1 ke orbit tak lepas dari peran United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA) dan Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA).
Proyek ini juga mendapat dukungan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Organisasi Amatir Radio Indonesia , PT Pudak Scientific , PT Pasifik Satelit Nusantara dan pemangku kepentingan lainnya.
Simak Video "Satelit Nano Pertama Indonesia Telah Lepas dari ISS"
(rns/agt)