Indonesia sudah memulai migrasi dari penggunaan bahan bakar fosil menuju energi baru terbarukan yakni listrik. Tapi, bukankah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) kita masih memanfaatkan batu bara sebagai bahan bakar untuk memproduksi listrik?
Hal ini langsung dijelaskan oleh Guru Besar Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Deendarlianto dalam 'Eureka! Edisi 9: Selamat Tinggal BBM', Senin (26/9/2022). Menurut penjelasan Profesor Deen, memang, saat ini sistem kelistrikan nasional Indonesia masih disokong oleh PLTU yang bahan bakarnya berasal dari batu bara. Akan tetapi, harus kita ingat bahwa Indonesia sebenarnya sudah ada skenario untuk berpindah ke energi baru dan terbarukan 100%. Namun ini dilakukan bertahap.
"Ketika 2014 pemerintah mendorong tumpuan energi menggunakan batu bara harapannya industrialisasi bisa tumbuh. Tapi pertumbuhan industrialisasi di bawah pertumbuhan energi. Anyway, dengan adanya PP 79 2014, kemudian ada target net zero emission, kita bisa, berdasarkan skenario, menggantikan fosil secara penuh di tahun 2060. Dan, menuju itu, kita berada dalam era transisi energi," jabar Profesor Deen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam masa transisi, sudah ada hasil yang perlahan tapi pasti didapatkan. Salah satunya adalah pengurangan pemakaian batu bara sebanyak 5% per tahunnya dan naik hingga 15% per tahunnya. Dengan begitu, pemakaian energi fosil saat ini dan ke depannya sebenarnya akan cukup jauh berkurang.
"Saya pikir mulai saat ini, elektrifikasi harus masuk, disamping menyerap over supply-nya listrik yang diproduksi oleh PLN. Bagian dari kita adalah mengurangi emisi CO2 di Indonesia,"
Lebih lanjut, Prof Deen meyakini kita bisa bermigrasi jika skenario yang sudah dirancang pemerintah dan pakar bisa dijalankan dengan baik. Ia juga menekankan bahwa target 2060 untuk zero emission sudah tidak bisa dibuat molor lagi. Sebab, selain mengurangi emisi, ada juga carbon tax dan permintaan dari pasar bisnis internasional yang semakin sadar dengan green energy.
Target Zero Emission di 2060
Sebelumnya, pemerintah sudah tegas mendorong upaya 2060 bebas emisi CO2, paling cepat di tahun 2057. Energi yang dipakai antara lain memanfaatkan air, panas Bumi, surya, bayu, bioenergi, hidrogen dan juga nuklir. Akan tetapi, di balik semua rencana tersebut, ada masalah yang melanda Indonesia yakni kemiskinan energi di sebagian daerah.
"Di Indonesia masih banyak, yang lebih menyedihkan di bagian Indonesia bagian Timur. Ini jadi tantangan besar untuk memberikan energi per kapita bagi saudara-saudara kita di Indonesia bagian Timur. Dari data kemiskinan per energi, seperti kita lihat di Papua, NTT, Sulawesi Tengah, kemudian Maluku Utara merupakan daerah-daerah yang mengalami energy poverty," ujarnya.
Ada banyak sumber energi terbarukan yang bisa dikembangkan untuk membangun daerah-daerah di seluruh Indonesia. Sumber daya energi terbarukan yang menjadi prioritas dengan teknologi tinggi, disebutkan Profesor Deen antara lain geothermal (panas bumi), biodiesel, biomassa, mini hydro dan energi surya.
Kendalanya, energi baru dan terbarukan bersifat intermittent. Contohnya adalah energi Matahari yang hanya ada di siang hari dan hanya dalam hitung jam. Selain itu, ketimpangan penduduk dan konsumsi energi yang tidak merata, serta ketersediaan dana murah untuk membangun energi terbarukan masih dibilang bermasalah.
(ask/rns)