Umat Islam yang berpuasa di daerah Kutub berbeda dengan daerah lainnya. Jika misalnya di Indonesia umat Islam berpuasa sekitar 13 jam dari terbit fajar hingga terbenamnya Matahari, di daerah Kutub atau negara-negara yang mengalami fenomena midnight sun atau waktu siang yang panjang, sulit menentukan kapan waktu siang dan malam, terlebih untuk menentukan waktu salat tarawih dan puasa.
Dua pelajar Indonesia, Genesia Wahyu Saputro dari Norwegian University of Science and Technology dan Imran Aryan Kamil dari University of Tasmania berbagi pengalaman mereka saat live streaming Eureka! 'Puasa di ujung Bumi Utara & Selatan'. Keduanya punya pengalaman unik, Genesia mengalami waktu puasa terlama sedangkan Imran tersingkat karena letak geografis negara domisili mereka yang berdekatan dengan Kutub Utara dan Selatan Bumi.
"Sepuluh hari pertama saya ikut jam lokal. Buka puasa jam 20.30, Isya jam 22.30 lalu lanjut tarawih. Tapi setelah hari ke-12 Ramadan, di mana Matahari tidak terbenam, Magrib dan Isya-nya dimajuin," kata Genesia yang tinggal di Norwegia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Norwegia adalah salah satu negara yang mengalami siang yang panjang. Bahkan saat musim panas terjadi fenomena midnight sun, Matahari terus bersinar selama 24 jam. Komunitas muslim di negara ini kemudian membuat sejumlah acuan waktu salat dan berpuasa yang memudahkan kondisi seperti itu, karena tidak mungkin kaum muslim berpuasa terus menerus tanpa berbuka.
"Pada hari ke-12 mereka ngikutin jam lokal di mana buka puasanya jam setengah 9 tapi Isya-nya sekitar jam setengah 10. Sudah Isya langsung tarawih. Jadi jamnya disesuaikan," urai Genesia.
Dia menambahkan, ada tiga waktu yang digunakan untuk menentukan waktu salat tarawih dan puasa di sana, yaitu jam lokal yang sesuai jam Matahari meskipun akan disesuaikan jika kondisi midnight sun, jam fishing time untuk daerah-daerah 45 derajat lintang utara ke atas, ada juga yang namanya waktu lokal Mekkah dengan menarik garis lurus dari Mekkah ke daerah tempat kita berada, lalu jamnya disesuaikan.
Genesia menggambarkan, setiap masjid atau komunitas muslim di sana akan merilis panduan jadwal yang di dalamnya sudah termasuk tiga jenis waktu tersebut: jam lokal, fishing time, dan waktu Mekkah.
"Sama kayak di Indonesia kan ada panduannya tuh jadwal imsak dan lain-lain selama Ramadan, cuma ini bentuknya digital dan sudah ada timetable, ada jadwal lokal, jadwal Mekkah, maupun fishing time silakan diikuti," ujarnya.
Sedangkan Imran yang tinggal di Tasmania, Australia, sejauh ini tidak mengalami kendala penentuan waktu salat tarawih dan puasa karena menurutnya jamnya masih mirip dengan di Indonesia.
"Di masjid kami mengikuti jam lokal karena Mataharinya terbit dan terbenam mirip dengan jam di Indonesia. Salat tarawih setelah Isya pun nggak jauh dari jam itu, salat tarawihnya tidak kemalaman. Untuk melihat waktu salat dan berbuka, satu mesjid itu rely on ke satu website dan sepakat ngikut dari situ," ujarnya.
Yang dilakukan Genesia di Norwegia dan Imran di Tasmania, sesuai dengan tuntunan syariat untuk memudahkan ibadah selama Ramadan. Dalam salah satu bukunya, pakar tafsir Alquran M Quraish Shihab menjelaskan, ibadah puasa tetap dilakukan dengan mengukur waktu, bukan berdasar pada perjalanan Matahari, yakni sejak menyingsingnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Pasalnya, jika hal itu menjadi dasar, puasa di wilayah-wilayah seperti Norwegia dan Kutub Utara akan sangat panjang dan akhirnya menjadikan puasa itu sangat berat bagi mereka. Padahal, dalam konteks puasa, Allah telah menegaskan dalam Alquran.
"Allah menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu." (QS al-Baqarah [2]: 185).
Tidak hanya itu, dalam semua tuntunan agama juga ditegaskan oleh Allah. "Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama sedikit kesempitan pun." (QS al-Hajj [22]: 78).
(rns/fay)