Di saat siang hari, langit akan berwarna biru muda cerah. Kemudian berubah jelang Matahari terbenam menjadi jingga. Dan, malam hari menjadi hitam. Menjadi pertanyaan, apakah warna yang paling dominan di alam semesta?
Terkait pertanyaan tersebut, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) memberikan jawaban ilmiahnya.
Lapan menyebutkan fenomena tersebut terkait dengan hamburan sinar Matahari oleh partikel-partikel gas di atmosfer Bumi. Fenomena ini disebut juga sebagai Hamburan Rayleigh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andi Pangerang, Peneliti Pusat Sains dan Antariksa Lapan mengatakan, pada dasarnya, hitam bukanlah warna. Hitam dalam spektrum elektromagnetik menunjukkan bahwa setiap spektrum lebih banyak diserap seluruhnya oleh benda dan tidak dapat lolos, ataupun dipantulkan kembali oleh benda tersebut.
Dengan kata lain, hitam adalah ketiadaan cahaya yang dapat dideteksi oleh indra penglihatan kita maupun alat optik lainnya. Terlebih lagi, jarak antarbintang yang cukup jauh tidak cukup membuat bintang terlihat seterang pusat tata surya di Bumi, yakni Matahari.
"Apa yang kita persepsikan sebagai warna, pada dasarnya adalah spektrum elektromagnetik yang dipantulkan kembali ke mata kita, yang mana di dalam bola mata kita terdapat tiga sel kerucut dan satu sel batang," ujar Andi.
![]() |
"Keempatnya terletak di retina di belakang bola mata kita. Masing-masing sel kerucut ini peka terhadap tiga warna: merah, hijau dan biru. Sedangkan, sel batang peka terhadap intensitas cahaya yang rendah. Prinsip serupa diterapkan oleh alat optik yang menggunakan charge-coupled device atau CCD, semacam sensor yang berfungsi untuk menangkap gambar", tutur Andi.
Setiap spektrum elektromagnetik memiliki panjang gelombangnya masing-masing. Spektrum cahaya tampak atau spektrum kasat mata, termasuk salah satu dari spektrum elektromagnetik yang masih dapat diamati oleh mata manusia.
Rentang panjang gelombangnya berkisar antara 400-700 nanometer (1 nanometer = sepersemiliar meter). Merah memiliki panjang gelombang yang lebih besar, yaitu 700 nanometer, sedangkan ungu memiliki panjang gelombang yang lebih pendek, yakni 400 nanometer.
Wilhem Wien di akhir abad ke-19 menemukan bahwa semakin besar suhu yang dipancarkan oleh benda hitam (benda yang menyerap seluruh radiasi elektromagnetik tanpa ada sedikitpun cahaya yang lolos), maka panjang gelombang ketika energi radiasinya maksimum menjadi semakin kecil.
Halaman selanjutnya: perubahan warna bintang sesuai umur...
Andi menuturkan jika konsep ini diterapkan dalam spektroskopi bintang (ilmu yang mempelajari sifat fisik bintang berdasarkan cahaya yang dipancarkan), maka bintang berwarna merah (panjang gelombang lebih besar) cenderung bersuhu lebih dingin dibandingkan dengan bintang berwarna biru (panjang gelombang lebih pendek) yang bersuhu lebih panas.
Hampir dua dekade silam, Ivan Baldry dan Karl Glazebrook dari Johns Hopkins University, Maryland, Amerika Serikat telah mengumpulkan sampel cahaya dari 200.000 galaksi yang memancarkan spektrum berbeda-beda dan mengolahnya ke dalam sebuah program komputer yang dapat menentukan spektrum tunggal rata-rata dari alam semesta, atau disebut juga spektrum kosmik.
Disampaikan Andi, spektrum kosmik inilah yang kemudian dipersepsikan sebagai warna yang paling dominan di alam semesta, seandainya seluruh bintang di alam semesta dapat diamati oleh mata manusia pada jarak yang sama dari Bumi.
Spektrum yang dipancarkan oleh masing-masing galaksi sudah diolah terlebih dahulu dengan meniadakan efek pergeseran merah (redshift) atau efek Doppler pada gelombang elektromagnetik dikarenakan jarak masing-masing galaksi yang cukup jauh dari Bumi, sehingga spektrum yang diambil sampelnya adalah spektrum yang dipancarkan langsung dari galaksi alih-alih spektrum yang diterima oleh pengamat di Bumi.
Awalnya, mereka berdua menduga spektrum kosmik atau warna yang paling dominan di alam semesta adalah biru toska/pirus (fairuz/turqoise). Setelah ditelusuri, ternyata dijumpai kesalahan perhitungan di dalam program yang dibuat, sehingga dikoreksi menjadi krem (beige). Warna krem inilah yang menjadi warna paling dominan di alam semesta yang kemudian diberi nama krem kosmik atau nama resminya cosmic latte, dinamakan berdasarkan warna latte (kopi susu/cafe au lait) yang cenderung krem.
Andi menjelaskan, krem kosmik saat ini masih menjadi warna yang mendominasi di alam semesta. Meskipun demikian, spektrum kosmik yang awalnya cenderung berwarna biru tidak sepenuhnya kurang tepat juga. Alam semesta beserta isinya selalu mengalami perubahan.
![]() |
Ketika bintang mula-mula terbentuk, cenderung berwarna kebiruan sehingga warna yang mendominasi alam semesta adalah biru. Seiring berjalannya waktu, bintang-bintang akan semakin meredup dan membengkak menjadi raksasa merah. Warna yang mendominasi alam semesta akan semakin bergeser ke arah merah.
Andi menjelaskan kelak, ketika seluruh bintang di deret utama (kecuali katai merah dan katai coklat) berevolusi menjadi raksasa merah, warna tunggal yang mendominasi alam semesta adalah merah. Ketika raksasa merah ini meledak menjadi supernova dan menghasilkan lubang hitam, warna yang mendominasi alam semesta adalah hitam karena seluruh cahaya sudah diserap seluruhnya oleh lubang hitam dan tidak akan lolos, tambahnya.