Tim robotika putri Afghanistan "Afghan Dreamers" menjadi pemberitaan besar di tahun 2017 ketika dilarang bepergian ke AS, sebelum akhirnya menyabet medali perak di kompetisi robotika FIRST Global Challenge di Washington. Kini, mereka memohon agar bisa pindah negara karena masa depan suram setelah Taliban kembali berkuasa.
Afghan Dreamers telah menghasilkan sejumlah penemuan unik sejak empat tahun lalu. Inovasi yang mereka buat di antaranya termasuk ventilator murah yang dioperasikan dengan tangan untuk pasien COVID-19. Ventilator ini memanfaatkan suku cadang bekas mobil Toyota Corolla tua.
Para pelajar ini tampaknya akan memiliki karir yang panjang dan sukses ke depannya. Namun setelah jatuhnya pemerintahan Kabul ke tangan Taliban, gadis-gadis jenius ini khawatir tak mendapat kesempatan berkarya di dunia robotika yang telah membesarkan nama mereka.
"Selama pekan terakhir ini muncul kekhawatiran bahwa Taliban akan mendatangi setiap rumah dan membawa paksa anak-anak perempuan untuk menjalani perkawinan anak dan memaksa mereka untuk menjadi pengantin anak," kata pengacara hak asasi manusia Kimberley Motley kepada Canadian Broadcasting Corp (CBC), dikutip dari IFL Science.
"Kami sangat, sangat prihatin dengan apa yang terjadi dengan tim robotika putri Afghanistan. Gadis-gadis pintar yang ingin menjadi engineer, mereka ingin berada di komunitas AI dan mereka berani bermimpi," tambahnya.
Motley melanjutkan dengan mengatakan bahwa Afghan Dreamers sungguh-sungguh memohon kepada pemerintah Kanada dan Perdana Menteri Justin Trudeau secara khusus agar diizinkan untuk pindah ke sana. Pada tahun 2018, mereka bertemu Trudeau setelah memenangkan kompetisi robotika yang diadakan di negara tersebut.
"Mereka ingin dididik. Mereka ingin berada di tempat yang aman. Mereka ingin membuat Afghanistan bangga, dan mereka ingin membuat dunia bangga dengan melanjutkan impian robotika mereka, impian AI mereka. Anak-anak ini percaya bahwa Kanada akan menjadi tempat yang luar biasa untuk meraih masa depan," jelas Motley.
Sungguh menyedihkan mendengar Afghan Dreamers harus memohon untuk bisa meneruskan mimpi mereka. Kondisi ini sangat berbeda dengan pidato kapten tim Afghan Dreamers Fatemah Qaderyan saat berbicara di Oslo Freedom Forum tahun 2018.
"Segala sesuatu dalam diri seorang anak dimulai dengan imajinasi. Setelah beberapa saat, imajinasi tumbuh dan menjadi mimpi. Begitu mereka memiliki mimpi itu, mereka ingin mewujudkannya. Namun, anak-anak yang tinggal di zona konflik, diberitahu bahwa mimpi mereka hanya sekadar mimpi," kata Fatemah.
"Kepemimpinan harus ada di tangan pemuda, generasi yang menganggap teknologi sebagai senjata melawan perang. Sekarang, setelah kami merasakan pendidikan di jenjang awal, kami bertekad untuk mendapatkan sebanyak mungkin pendidikan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi negara," sambungnya.
Kini, tim yang terdiri dari 20 anak perempuan berusia 12-18 tahun itu meminta agar diizinkan pindah ke Kanada, demi keselamatan, dan agar bisa melanjutkan pendidikan mereka.
"Mereka khawatir tentang apa yang akan terjadi besok. Mereka ingin terus belajar. Mereka ingin terus menjadi masa depan Afghanistan, tetapi ini adalah situasi yang sangat rentan dan berbahaya bagi mereka," tutup Motley.
(rns/fay)