Melihat Ruwetnya Kerja Otak Saat Pilih Ekonomi atau COVID-19
Hide Ads

Melihat Ruwetnya Kerja Otak Saat Pilih Ekonomi atau COVID-19

Aisyah Kamaliah - detikInet
Rabu, 09 Des 2020 14:44 WIB
Poster
Ekonomi diguncang karena pandemi COVID-19. Foto: Edi Wahyono
Jakarta -

Belief system mempengaruhi cara berpikir. Ancaman ekonomi membuat orang meragukan COVID-19, dan ini dapat dijelaskan secara ilmiah.

Penulis punya seorang rekan, sebut saja namanya Anto. Anto merupakan orang yang sangat tidak percaya dengan adanya COVID-19 dan beranggapan bahwa pandemi adalah sebuah skenario penguasa rahasia dunia. Ia enggan memakai masker, menolak pula menggunakan hand sanitizer.

"Nggak ada yang kelihatan depan mata kok korbannya. Ora kerja ora ngudut," katanya sambil lalu, pergi meninggalkan tempat dengan masker menggantung di dagu supaya bisa dipasang kapan saja polisi berpatroli.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Itu Anto, tapi ada juga yang percaya bahwa virus SARS-CoV-2 itu ada namun, tidak berbahaya. Panggil saja Tria, dia mengatakan kalau dia percaya adanya virus tak kasar mata itu akan tetapi ada banyak hal lain yang lebih penting untuk diurusi ketimbang masalah virus.

"Cuma dibesar-besarkan saja angkanya," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Kita mungkin bertanya-tanya, kenapa ada orang yang punya pola pikir sangat berbeda. Untuk itu, penulis bertanya pada seorang ilmuwan di Indonesia mengenai cara kerja belief system yang mempengaruhi cara berpikir seseorang. Dia adalah Berry Juliandi, ilmuwan dari Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).


Bagaimana belief system terbentuk

Ia menjelaskan bahwa kepercayaan atau belief system adalah hal yang berperan besar dalam mempengaruhi cara orang berpikir dan mengolah berita. Belief system merupakan salah satu kerja otak yang membuat manusia bisa bertahan hidup. Contoh belief system yakni percaya adanya Tuhan, adanya hari akhir, dan keyakinan lainnya seperti kampus mana yang terbaik dibanding kampus lainnya.

"Jadi belief system terus dibuat sepanjang buat, ada yang kelas besar, sampai yang terkecil misal di rumah tangga, ada anggapan 'keluarga itu penting'," jelas Berry melalui sambungan telepon.

Dengan belief system, manusia bisa bergandengan untuk mencapai tujuan bersama, tapi ketika sudah ada perbedaan pada kepercayaan, inilah yang membuat amygdala di otak menolak informasi tersebut. Amygdala adalah bagian otak yang berfungsi mengolah informasi berdasar emosi, contohnya adalah rasa takut, cemas, dan perasaan lainnya.

Belief system harus kuat, karena kalau tidak kuat akan menjadi tidak kuat motivasinya. Tapi, jika suatu belief system terlalu kuat, ada efek samping yakni jika ia menemukan informasi baru yang berlawanan dengan belief system-nya maka otak akan menandai informasi ini 'berbahaya' bagi belief system. Amygdala bisa membuang informasi tersebut atau malah mencari pembelaan yang bisa menguatkan kepercayaan awal seseorang.

Apa yang memengaruhi belief system?

Balik ke masalah COVID-19, ketika seseorang merasa virus corona adalah ancaman, amygdala akan memproses informasi tersebut dan menjadikannya peringatan. Kendati demikian, ada beberapa hal yang membuat orang menghasilkan pemikiran berbeda sekalipun mendapatkan informasi yang sama. Semua tergantung dari ancaman mana yang lebih menakutkan dan lingkungan sekitar menanggapi suatu isu.

"Misal, bagi si A, COVID-19 itu menakutkan tapi tidak makan juga menakutkan. Nah, otak kita bisa memilih dan membuat keputusan berdasarkan berdasarkan tingkat ancaman," tutur Berry.

"Yang tidak belajar biologi, tidak ngerti virus, ya dianggapnya virus nggak kelihatan. Walaupun ngerti ada ancaman tapi yang bilang otoritas yang kurang dia percaya, itu menjadikan ancaman tidak makan yang lebih menakutkan dibandingkan ancaman virus yang nggak kelihatan," sambungnya.

Bisa disanggah atau diterima, salah satu faktor terbesar yang menjadi ancaman selama pandemi adalah hilangnya mata pencaharian. Maka masuk akal jika ekonomi masuk prioritas utama dalam suatu sistem kepercayaan. Makin wajar mengingat berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah pengangguran periode Agustus 2020 mengalami peningkatan sebanyak 2,67 juta orang. Dengan demikian, jumlah angkatan kerja di Indonesia yang menganggur menjadi sebesar 9,77 juta orang. Anto salah satunya.

Maka dari sini, tidak heran jika orang seperti Anto, lebih percaya virus corona tidak nyata karena ancaman yang jelas ada di depan matanya adalah 'tidak dapat uang untuk merokok'.

Ini diperparah dengan kerja mesin pencari atau media sosial yang membuat seseorang terpaku dengan selera dan kategori masing-masing, alias echo chamber. Sebagai contoh, misalnya, seseorang yang merupakan anti vaksin, maka dalam mesin pencarian akan muncul suggestion terkait bahaya vaksinasi. Informasi yang ia terima pun menjadi pembenaran bagi bahwa apa yang saya percayai selama ini adalah benar.

Namun bukan berarti mereka semua yang terdampak PHK karena terpaan isu COVID-19 memiliki ancaman belief system yang sama dengan Anto. Ada lagi Dea yang meski tidak menghasilkan uang tetap merasakan ancaman COVID-19 karena ia mengasuh kedua orang tua yang masuk kategori rentan terpapar COVID-19. Ia lebih takut COVID-19 dibandingkan tidak punya uang untuk makan.

Tidak peduli apakah dia jadi pengangguran atau tidak, selama keluarga terlindungi dan ada bantuan pemerintah, maka ia tidak masalah untuk bertahan sedikit lagi meski ujung pandemi tidak dapat diprediksi.

Cara menghadapi perbedaan belief system

Belief system dapat berubah, terlebih terhadap peristiwa yang memberikan efek kejut atau sang pembawa pesan mampu menuturkan hal yang mencengangkan dan membuat ia berpikir bahwa kepercayaannya selama ini salah.

"Atau kejadian itu sangat bermakna untuk orang tersebut menyelamatkan jiwanya atau keluarganya," imbuh Berry. Sebagai contoh, orang yang mengalami kejadian nyata di mana orang terdekatnya meninggal karena COVID-19 akan menjadi lebih sadar tentang kebenaran virus ini dibanding mereka yang tidak dan dihadapkan oleh ketakutan lain.

Karena itu, untuk mengetahui bagaimana memberikan pencerahan dan mencegah menyebarnya hoaks seputar COVID-19, diperlukan informasi awal mengenai ancaman apa yang ditakutkan masyarakat. Selanjutnya, ketahui juga siapa tokoh atau entitas lainnya yang dapat mempengaruhi seseorang dalam berpikir.

"Pada intinya kepercayaan pada intinya akan berubah setelah ada kepercayaan baru. Metodenya macam-macam, seperti rayuan atau ajakan kebaikan. Menukik tentang COVID-19, sebetulnya yang jadi masalah adalah dikarenakan tingkat kepercayaan masyarakat kita sangat rendah terhadap pemerintah dan ilmuwan," tuturnya.

Para ilmuwan pun telah mempraktikkan hal ini dalam berbagai kasus. Salah satu kasus adalah di mana Berry menyampaikan bahaya melakukan penebangan hutan untuk keberlangsungan alam. Metode ini gagal dilakukan dengan penjelasan secara saintifik, namun berhasil ketika seorang ulama menuturkan pentingnya menjaga alam sekitar.

"Kita harus mengetahui masyarakat seperti apa yang ingin kita sasar untuk menyelesaikan suatu masalah, apakah dengan membawa unsur kepercayaan, supranatural, saintifik. Itu yang harus ditentukan dari awal," tandasnya.

Nah, dari sini kita belajar, sebenarnya pemerintah bisa mengambil keputusan untuk menyampaikan pesan dan mengarahkan masyarakat dalam mengambil keputusan. Pada berbagai kesempatan dijelaskan bahwa kita tidak harus memilih antara ekonomi dan kesehatan, dengan cukup menyampaikan pesan pentingnya 3M terhadap konteks yang tepat, hal ini bisa mengubah sikap orang banyak terhadap pandemi yang tengah berlangsung.

Halaman 2 dari 3
(ask/fay)