Pandemi virus corona mungkin bisa menjadi bahan refleksi bagi umat manusia. Menurut studi baru, eksploitasi terus menerus terhadap alam liar berimbas pada populasi hewan sekaligus naiknya penularan penyakit yang berasal dari binatang ke manusia.
Eksploitasi itu bisa dalam bentuk perburuan binatang, perdagangannya, perusakan habitat serta urbanisasi. Kontak yang semakin meningkat dengan alam liar berujung pada risiko tinggi penularan virus.
"Saat habitat natural berkurang, kehidupan liar berada dalam kontak lebih dekat dengan manusia. Hal ini mempercepat kemunculan penyakit dari kehidupan liar dan membuat kita dalam risiko pandemi," kata ahli epidemiologi, Christine Johnson, dari University of California Davis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memang, hewan yang sudah didomestikasi, terutama mamalia yang jadi sumber makanan, berpotensi paling besar menularkan virus. Tepatnya menurut studi ini adalah 8 kali lipat dibandingkan hewan liar.
Tapi di antara hewan liar itu, yang berisiko tinggi menularkan banyak virus pada manusia adalah mereka yang banyak jumlahnya serta telah beradaptasi pada lingkungan manusia. Sebut saja tikus, kelelawar dan primata.
Peneliti ini menggarisbawahi bahkan spesies langka yang habitatnya terancam manusia tak kalah berisiko dibanding hewan yang habitatnya menurun karena alasan lain. Pendek kata, ketika ada manusia berhubungan dekat dengan hewan, lebih banyak risiko penularan virus.
Dikutip detikINET dari Science Alert, fenomena semacam itu belum diperhatikan dengan serius. "Kami menduga bahwa penularan pathogen kadang tidak terdeteksi, dengan hanya jika ada event penularan berubah menjadi wabah ke orang hal itu menjadi terdeteksi," tulis mereka.
"Kita harus sangat memperhatikan bagaimana interaksi dengan kehidupan liar dan aktivitas yang membuat manusia dan mereka berdekatan. Kita perlu menemukan cara berdampingan dengan aman karena mereka punya banyak virus yang bisa menular ke kita," cetus Johnson.
(fyk/fay)