Syahrul, Kepala Unit Lingkungan di Pulau Salah Namo, mengatakan bahwa mereka sudah tahu bahwa laut yang naik bisa menenggelamkan pulau mereka. Orang-orang yang tinggal di pulau itu telah memindahkan rumah mereka puluhan meter dari tempat pertama kali dibangun.
Diungkap Syahrul sebagian besar penduduk pindah ke pulau itu pada tahun 1970 untuk memiliki kehidupan yang lebih baik dengan menanam padi dan menjadi nelayan. Pada tahun 1990, di depan rumah terdapat lapangan yang cukup besar yang dijadikan tempat olahraga dan bermain anak-anak. Tetapi kondisi sekarang berbeda.
"Tidak ada lapangan di depan rumah kita. Banyak orang juga pindah dari sini,"katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Taman Nasional Berbak-Sembilang dinyatakan sebagai cagar biosfer dunia pada tahun 2018 oleh Unesco. Menjadi rumah bagi kawasan hutan bakau dan memiliki flora dan fauna yang kaya, termasuk Harimau Sumatra dan burung Pekakak.
"Itu telah tenggelam karena level segel telah naik dan karena tsunami. Tetapi tidak ada gangguan signifikan bagi hewan-hewan di taman nasional," ungkap Affan dikutip dari The Star.
Meskipun Sumatera Selatan memiliki 1,2 juta hektar lahan gambut β yang berfungsi sebagai penyerap karbon alami dan menyerap CO2 dari atmosfer β berjumlah sekitar 15 persen dari luas lahan, kegiatan pembangunan, konversi lahan dan kebakaran hutan telah menyebabkan lahan gambut mengering dan menjadi rusak.
Badan Mitigasi Bencana Sumatera Selatan (BPBD) mencatat bahwa dari 361.889 ha area yang terbakar oleh kebakaran hutan dan lahan pada 2019, 60 persen terdiri dari ekosistem gambut.
(afr/fay)