Indonesia tengah berduka setelah gempa dan tsunami menghantam kawasan Sulawesi Tengah. Simpati dan doa pun mengalir deras buat para korban dan keluarga yang ditinggalkan.
Bicara soal gempa maka tak akan lepas dari kekuatannya. Di Donggala, Sulteng, salah satu gempa yang mengguncang tercatat berkekuatan magnitudo 7,4. Begitulah penyebutan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), tanpa adanya SR (skala Richter).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
SR sejatinya sudah cukup luas digunakan untuk mengukur kekuatan gempa bumi di Indonesia. Dalam sejarahnya, metode pengukuran tersebut diciptakan oleh Charles Francis Richter, seismolog asal Amerika Serikat.
Ia pertama kali mempublikasikan Skala Richter pada 1935. Hal ini seakan menjadi jawabannya terhadap satu masalah yang dimiliki oleh metode sebelumnya, yaitu Skala Mercalli.
Mundur sedikit ke belakang, skala Mercalli ini diciptakan oleh Giuseppe Mercalli, ahli vulkanologi asal Italia. Pada 1902, ia mempublikasikan 12 kategori kekuatan gempa berdasarkan dampak kehancuran yang ditimbulkannya.
Seiring waktu berjalan, Skala Mercalli dianggap terlalu subjektif serta sulit diterapkan untuk mengukur gempa yang terjadi di kawasan terpencil. Maka dari itu, Richter muncul dengan idenya tersebut.
Meski begitu, revisi yang diterapkan pada Skala Mercalli membuat metode penghitungan tersebut bisa digunakan secara lebih luas. Adalah duo ahli seismologi, yaitu Harry Wood dan Frank Neumann yang melakukannya.
Mereka memodifikasinya pada 1931 sehingga masih sering digunakan pada tempat-tempat yang tidak memiliki peralatan seismometer yang dapat mengukur kekuaan gempa. Namanya pun menjadi Mercalli Modified Intensity (MMI).
Walau demikian, Skala Richter juga tak lagi bisa mencakup seluruh perhitungan besarnya kekuatan gempa. Hal ini disebabkan munculnya skala-skala lain dalam menghitung magnitudo bencana tersebut.
Untuk Skala Richter, metode tersebut digunakan untuk menghitung Magnitudo Lokal (ML). Karena pertama kali dikembangkan untuk menghitung gempa yang terjadi di kawasan California Selatan dan Nevada, metode ini dianggap tak relevan untuk diterapkan pada daerah lain. Hal tersebut disebabkan karena perbedaan lempeng benua dari lokasi gempa yang bisa berbeda-beda.
Masalah ini pun memunculkan skala-skala baru yang lebih universal. Salah satunya adalah Magnitudo Gelombang Badan atau Body-wave Magnitude. Awalnya, penghitungan ini menggunakan lambang mB, yang kemudian dimodifikasi dan berubah menjadi mBBB (Broad-band Body-wave Magnitude).
Seiring berjalannya waktu, banyak turunan dari metode ini, seperti mb. Ini seakan menjadi pelengkap dari mBBB. mb digunakan untuk menghitung amplitudo maksimum pada tiga detik pertama, sedangkan mBBB diterapkan pada hal yang sama untuk periode hingga 30 detik.
Lalu, ada juga mbLG. Ini bisa diterapkan untuk kawasan di Amerika Serikat yang tidak bisa dijangkau oleh Magnitudo Lokal-nya Skala Richter. Metode ini juga cenderung digunakan untuk mengukur kekuatan ledakan nuklir di bawah tanah.
Kemudian, muncul Magnitudo Gelompang Permukaan, atau Surface-wave Magnitude (Ms). Ide ini dicetuskan untuk menyelesaikan keterbatasan Skala Richter dengan Magnitudo Lokal-nya.
Metode ini mengukur amplitudo dari gelombang permukaan Bumi, atau gelombang Rayleigh, selama kurang lebih 20 detik. Turunannya, yaitu MsBB, bisa digunakan untuk mengukur sampai 60 detik.
Ms pun bisa digunakan untuk mengukur gempa yang memiliki kekuatan lebih besar maupun lokasi yang lebih luas dibanding ML. Pengukuran ini juga mendapat pembaruan dari sejumlah negara, seperti China dan Rusia.
Maka dari itu BMKG di Indonesia tak lagi mencantumkan SR setelah angka yang menunjukkan kekuatan gempa. Hal tersebut disebabkan SR hanya bisa diterapkan di daerah-daerah tertentu saja. BMKG kini mengukur kekuatan gempa dengan menggunakan simbol M atau magnitudo.
(mon/krs)