Caranya dengan menggunakan camera trap dan sensor untuk menangkap gambar. Kemudian data tersebut akan dikirim ke cloud dan dimanfaatkan peneliti untuk mempelajari lebih jauh mengenai keberadaan mereka.
"Ada total 4,5 juta foto dari tahun 1990 yang telah diunggah di seluruh bagian dunia. Ini membantu peneliti memahami spesies yang ada," kata Tanya Birch Program Manager Google Earth Quarter dalam acara temu media Google Earth di Jakarta, Rabu (19/12/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan Wildlife Insights, ahli biologi dapat mengelola, menganalisis dan memetakan data tentang margasatwa kemudian membuat keputusan yang lebih baik tentang spesies mana yang membutuhkan perlindungan berserta lokasinya.
Dijelaskan Tanya lebih jauh, sensor ini sangat sensitif mendengar suara. Misalnya suara aktivitas para hewan atau bahkan 'ancaman' dari penebangan liar sehingga bisa dilakukan pencegahan dari pihak berwenang atau organisasi pelestarian lingkungan hidup.
"Kita ingin memperlihatkan kecerdasan buatan memegang peran dalam konservasi. Kalau di Bali ada organisasi Green Go yang menggunakan AI untuk mendeteksi sampah plastik," jelas Head of Corporate Communication Jason Tedjasukmana dalam kesempatan yang sama.
Bila dibandingkan, manusia bisa hanya bisa melihat kurang lebih 300 gambar per jam. Akan tetapi dengan AI, ilmuwan bisa melihat 3,6 juta gambar per jamnya sehingga mempermudah pekerjaan mereka dalam menganalisis.
Platform ini begitu canggih karena menggunakan jaringan neural konvolusional multi-kelas yang didasarkan pada framework open source Tensor Flow untuk melatih komputer mengenali sosok binatang ada.
"Jadi AI akan semakin pintar dan mengenali objek ini ketika semakin sering dikenali, mesinnya akan terus belajar," pungkasnya.
Baca juga: Ikan Wakanda Ditemukan di Afrika |
(fyk/fay)