April lalu, Rukundo menerima sebuah telepon via WhatsApp dari nomor yang tak ia kenal. Saat panggilannya dijawab, tak ada suara dari ujung telepon, dan panggilannya mendadak mati. Saat ditelepon balik, panggilannya itu tak dijawab.
Rukundo saat itu tak menyadari kalau setelah ia menjawab panggilan telepon itu, ponselnya sudah terkontaminasi malware yang bisa menyadap berbagai hal dari ponselnya itu. Namun, sebagai warga yang tinggal di pengasingan, Rukundo tentu harus selalu waspada.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Itulah yang mendasarinya untuk mengecek nomor telepon yang menelponnya itu. Nomornya berasal dari Swedia.
Panggilan telepon itu kemudian datang kembali, dengan kasus yang sama. Ia mulai was-was terhadap keamanan keluarganya, yang membuatnya membeli ponsel baru. Kecurigaannya itu mulai timbul setelah ada sejumlah berkas yang hilang dari ponselnya.
Namun hal itu tak membuatnya terbebas dari panggilan telepon misterius itu. Tak sampai sehari setelah ia menggunakan ponsel baru, panggilan lewat WhatsApp itu muncul kembali.
"Saya mencoba menjawab namun mereka langsung mematikan telepon sebelum saya mendengar suara apa pun," ujarnya, seperti dikutip detikINET dari BBC, Jumat (1/11/2019).
Ia pun kemudian mencari tahu dengan berbincang dengan temannya di Rwanda National Congress, dan ternyata mereka juga mengalami pengalaman yang sama, yaitu mendapat panggilan misterius dari nomor yang sama.
Sebagai informasi, Rwanda National Congress adalah sebuah kelompok oposisi dari rezim yang berkuasa di Rwanda.
Rukundo baru menyadari adanya serangan cyber terhadap WhatsApp pada bulan Mei lalu, dan ia pun menyadari apa yang terjadi padanya. "Saat saya pertama membaca beritanya soal peretasan WhatsApp, saya berpikir, wah, ini yang terjadi pada saya," ujarnya.
"Saya mengganti ponsel dan menyadari kesalahan saya. Mereka mengikuti nomor saya dan menyusupkan software mata-mata setiap kali saya mengganti perangkat dengan menelpon nomor yang sama," tambah Rukundo.
Rukundo dan rekan-rekannya adalah satu dari 1.400 orang korban yang menjadi target dari eksploitasi celah di WhatsApp. Ia baru mendapat konfirmasi kalau ia menjadi korban pada minggu ini, setelah menerima telepon dari Citizen Lab, yang berlokasi di Toronto, Kanada.
Citizen Lab selama enam bulan ke belakang bekerja sama dengan Facebook untuk menginvestigasi peretasan tersebut, dan mencari siapa saja yang menjadi korbannya.
"Sebagai bagian dari investigasi kami terhadap insiden ini, Citizen Lab mengidentifikasi lebih dari 100 kasus penyalahgunaan dengan target aktivis hak asasi manusia dan jurnalis dari setidaknya 20 negara di seluruh dunia," ujar peneliti di Citizen Lab.
Mengapa Rukundo?
Profil Rukundo sebagai aktivis yang mengkritisi rezim Rwanda sejalan dengan profil korban-korban yang lain. Yaitu orang yang mengkritisi rezim yang tengah berkuasa di negara-negara tertentu.
Spyware yang dipakai ini diduga dibuat dan dijual oleh NSO Group, sebuah perusahaan asal Israel, yang menjual spyware tersebut ke pemerintah di seluruh dunia.
Rukundo memang sudah tak lagi menerima panggilan telepon misterius itu. Namun pengalamannya itu membuat ia dan keluarganya merasa paranoid dan ketakutan.
"Sejujurnya, bahkan sebelum mereka mengkonfirmasi ini, kami sudah ketakutan. Hal ini terasa seperti mereka hanya menyadap ponsel saya selama dua minggu namun mereka bisa mengakses semuanya," ujar Rukundo.
"Tak cuma aktivitas saya saat itu namun semua catatan email dan semua kontak serta koneksinya. Semua dipantau, komputer, ponsel, tak ada yang aman. Bahkan saat kita berbicara, mereka bisa mendengarkan. Saya masih merasa tak aman," tutupnya.
Rukundo adalah warga Rwanda yang kabur dari negara asalnya itu pada 2005. Yaitu setelah pemerintahannya mulai menangkapi orang-orang yang vokal dalam mengkritisi pemerintah.
Halaman
1
Tampilkan Semua
(asj/fyk)