Dalam studi besar baru soal DNA, periset itu coba mencari asal usul manusia dari sisi sains. Danau kuno Makgadikgadi di Botswana selatan yang sekarang kering kerontang, mereka klaim sebagai tempat di mana manusia modern pertama berkembang pada sekitar 200 ribu tahun silam.
Pada saat itu, arena bersangkutan basah dan subur, ada ikan dan juga mamalia semacam jerapah, singa dan zebra. Nenek moyang manusia disebut tinggal di sana selama 70 ribu tahun, sampai iklim lokal berubah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka pun mulai berpindah ke tanah subur di sekitar lokasi itu sampai bermigrasi ke luar Afrika. "Jelas bahwa manusia modern tampaknya muncul di Afrika sekitar 200 tahun yang lalu," kata profesor Vannes Hayes yang memimpin riset ini.
"Apa yang menjadi debat panjang adalah lokasi persis dari kemunculan tersebut dan perpindahan selanjutnya dari nenek moyang awal kita," imbuhnya, dikutip detikINET dari IOL.
Dalam studi ini, ilmuwan mengambil sampel DNA mitochindrial dari 1.217 orang Afrika. Tidak seperti DNA nuclear yang separuh-separuh berasal dari gen ibu dan ayah, DNA mitochondrial hanya diturunkan dari ibu.
(ke halaman selanjutnya)
Ilmuwan Klaim Temukan 'Taman Eden' Asal Nenek Moyang Manusia
Danau Makgadikgadi sekarang. Foto: Live Science
|
Periset lantas mengkombinasikan genetika dengan kondisi geologi dan iklim, untuk mendapat gambaran bagaimana situasi dunia pada 200 ribu tahun yang lalu. Simulasi komputer menunjukkan bahwa pada waktu itu hujan melimpah juga berdampak ke daerah sekeliling.
"Perubahan iklim membuka lingkungan yang hijau, tetumbuhan, memungkinkan nenek moyang kita bermigrasi jauh dari tanah air untuk pertama kalinya," kata profesor Alex Timmerman, ahli iklim di Pusan National University, Korea Selatan.
Migrasi terjadi lantaran perubahan iklim membuat danau perlahan menjadi kering dan akhirnya berubah menjadi gurun. Perpindahan itu pun memicu perkembangan genetika manusia, etnis sampai perbedaan budaya.
Lokasi tersebut disebut ideal untuk manusia bertahan hidup selama sekitar 70 ribu tahun. Tentunya, tidak semua sepakat dengan studi ini.
"Seperti banyak studi lainnya yang berkonsentrasi pada jumlah kecil genom atau satu wilayah atau satu fosil, hal itu tidak dapat menangkap kompleksitas penuh dari asal muasal kita," ujar profesor Chris Stringer dari Natural History Museum.