Galaunya Karyawan Facebook, Urusan Sepatu pun Bikin Ribut
Hide Ads

Galaunya Karyawan Facebook, Urusan Sepatu pun Bikin Ribut

Fino Yurio Kristo - detikInet
Rabu, 20 Feb 2019 12:53 WIB
Galaunya Karyawan Facebook, Urusan Sepatu pun Bikin Ribut
Foto: Facebook
Jakarta - Nama Facebook tak lagi secemerlang dulu, sejak skandal Cambridge Analytica menghentak dan maraknya hoax yang beredar. Para karyawan pun kabarnya galau terkena imbasnya. Sampai-sampai, pendiri dan CEO Mark Zuckerberg turun tangan untuk menenangkan mereka.

Beberapa saat setelah skandal kebocoran data Cambridge Analytica menyeruak tahun 2018 lalu, Facebook mengadakan pertemuan karyawan dengan menghadirkan pengacara Facebook, Paul Grewal, yang menjawab berbagai pertanyaan karyawan soal skandal Cambridge Analytica.

Kemudian seperti dikutip detikINET dari New York Times, dua sumber karyawan Facebook menyatakan Zuck sendiri hadir menemui para pegawai. Namun tidak dijelaskan secara detail apa yang ia katakan dalam pertemuan yang berlangsung tahun lalu tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sang sumber mengatakan moral karyawan Facebok saat ini sedang menurun karena berbagai kasus yang menimpa perusahaan. Dan tidak salah kalau Zuck sendiri turun tangan karena persaingan memperebutkan karyawan di Silicon Valley sangat ketat.




Bahkan kabarnya, beberapa karyawan Facebook minta pindah ke divisi lain seperti ke WhatsApp atau Instagram yang tak tertimpa krisis besar. Salah satu perekrut karyawan Facebook yang tak mau disebut identitasnya menyatakan, ada kecemasan karyawan top dibajak perusahaan lain. Ditambah lagi ada kabar minat masuk Facebook merosot.

"Pada 10 tahun lalu, Facebook adalah tempat yang paling diinginkan oleh para lulusan kampus. Tapi tahun ini, para lulusan terbaik tidak lagi mencari kerja di sana," sebut Eric Schiffer, chairman Reputation Management Consultants.

Halaman Selanjutnya: Moral Karyawan Anjlok

Moral Karyawan Anjlok

Foto: Facebook
Dikutip detikINET dari CNBC, survei internal Facebook tahun lalu menunjukkan, 52% karyawan optimis terhadap masa depan perusahaan, turun drastis dari 84% di tahun 2017. Sedangkan 70% mengaku bangga dapat bekerja di Facebook, juga merosot dibandingkan persentase 87% sebelumnya.

Komitmen jangka panjang pada perusahaan juga terganggu. Rata-rata pegawai mengaku ingin tetap berada di perusahaan dalam 3,9 tahun ke depan, dari sebelumnya mencapai 4,3 tahun.

Kabarnya, Mark Zuckerberg juga telah membahas temuan itu pada bulan November dalam sesi tanya jawab dengan karyawan. Ia menjanjikan Facebook akan mengambil langkah yang dibutuhkan untuk mengangkat moral karyawan.

Situasi ini memang cukup mengganggu karena Facebook lama termasuk perusahaan yang paling diidamkan untuk bekerja. Namun seperti sudah disebutkan, beberapa kasus belakangan membuat citra mereka agak menurun.

Karena beberapa faktor, banyak eksekutif topnya juga mengundurkan diri dalam waktu yang tak terlalu berjauhan, seperti pendiri WhatsApp Jan Koum dan Brian Acton. Menyusul kemudian pendiri Instagram, Kevin Systrom dan Mark Krieger.

Karyawan WhatsApp & Facebook Ternyata Tak Akur

Foto: Facebook
Setelah ditinggalkan para pendirinya, Jan Koum dan Brian Acton, WhatsApp benar-benar 'diurus' oleh Facebook selaku induk perusahaan. Namun ada permasalahan yang timbul, yang tidak berkaitan dengan munculnya berbagai skandal yang melibatkan Facebook.

Kini karyawan Whatsapp bekerja dengan ruang dan fasilitas yang sama dengan karyawan Facebook, namun kabarnya kerap terjadi gesekan antara keduanya seperti dikutip detikINET dari Business Insider.

Beberapa anggota tim WhatsApp dilaporkan terganggu dengan restoran dan toko yang mengelilingi kantor baru mereka di kantor pusat Facebook. The Wall Street Journal (WSJ) pun melaporkan bahwa, karyawan Facebook juga merasa terusik ketika karyawan WhatsApp meminta kamar mandi yang lebih bagus dengan pintu yang besar.

Karyawan WhatsApp juga disebut meminta agar meja di kantor lamanya dibawa, yang mana ukurannya lebih besar dari ukuran standar di Facebook. Budaya karyawan dari kedua perusahaan ini pun jelas berbeda.

Perbedaan tersebut tercermin ketika tim WhatsApp memasang poster di lorong gedung yang bertuliskan 'Mohon kurangi kebisingan seminimal mungkin'. Karyawan Facebook lantas membalas dengan nyanyian berlirik "Welcome to WhatsApp - Shut up!".

Facebook dan WhatsApp memang merupakan kedua perusahaan yang dibangun secara terpisah dan memiliki landasan filosofis yang sangat berbeda. Hal ini membuat karyawan keduanya sulit untuk hidup harmonis dalam satu gedung.

Selain itu, Brian Acton dan Jan Koum dikabarkan tak sepakat dengan CEO Facebook dan COO-nya Sheryl Sandberg, selama bertahun-tahun. Mereka tak sepakat pada model bisnis kedua perusahaan yang berbeda serta tekanan dari kedua bos Facebook yang ingin mengubah WhatsApp menjadi platfom pesan berbasis iklan.

Tidak Lagi Jadi Tempat Kerja Terbaik

Foto: Istimewa
Facebook hampir selalu jadi kantor idaman di Amerika Serikat yang didambakan para pencari kerja dan dibanggakan pegawainya, bahkan tahun 2017 mereka jadi tempat kerja terbaik versi website Glasdoor. Akan tetapi tahun lalu, predikat itu lepas dari genggaman.

Survei terbaru Glasdoor menyebutkan ranking Facebook terjerembab ke posisi 7. Adapun ranking pertama ditempati oleh perusahaan teknologi bernama Zoom Video Communications.

Pemeringkatan oleh Glasdoor ini mempertimbangkan beberapa faktor. Di antaranya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan personal, benefit serta tingkat kepuasan karyawan.


Seperti disebutkan, berbagai masalah yang menerpa Facebook belakangan jadi alasan turunnya ranking mereka, dari skandal kebocoran data sampai turunnya harga saham. Pihak Glasdoor menyatakan karyawan Facebook ingin manajemen bisa lebih transparan soal berbagai isu.

Tapi patut dicatat kalau Facebook masih unggul dibandingkan raksasa teknologi lain. Google turun 3 peringkat ke posisi 8. Apple di ranking ke 71 dan Microsoft di posisi 34. Amazon bahkan sama sekali tidak masuk dalam daftar 100 besar.

Karyawan Facebook Diminta Pura-pura Bahagia?

Foto: Istimewa
Pegawai Facebook kabarnya diharapkan selalu tetap bahagia dan seolah tak pernah terjadi masalah. Pada bulan Oktober lalu, dilakukan pertemuan para karyawan untuk membicarakan uneg-uneg mereka. Nah, seorang karyawan curhat langsung pada Chief Operating Officer Facebook, Sheryl Sandberg.

"Aku segan berbicara, Sheryl, karena ada tekanan bagi kami bahwa semuanya baik-baik saja dan bahwa kami cinta bekerja di sini," kata karyawan itu menurut sumber yang ikut hadir di sana.

"Tidak seharusnya ada tekanan semacam itu untuk berpura-pura menyukai sesuatu ketika aku tidak merasa demikian," lanjut dia yang disambut tepuk tangan pegawai lainnya, seperti dikutip detikINET dari CNBC.

Budaya kantor Facebook kabarnya mengharuskan karyawan menempatkan perusahaan di atas segalanya, menuruti bos serta ramah tamah pada karyawan lain. Budaya semacam itu dinilai membuat pegawai lebih banyak diam dan tidak melakukan kritik atau umpan balik pada perusahaan.

Sumber mantan karyawan Facebook pun menilai hal itu turut berkontribusi pada merebaknya skandal yang menerpa Facebook, seperti kebocoran data user serta hoax yang mempengaruhi pemilu. Jika karyawan berbicara jujur, kasus tersebut barangkali dapat dicegah.

"Ada budaya yang nyata di mana bahkan jika kalian merasa menderita, kalian harus berakting seolah menyukai tempat ini. Tidak bagus jika bertingkah bahwa perusahaan ini bukan tempat kerja terbaik," kata seorang mantan karyawan yang resign Oktober lalu.

Keputusan perusahaan pun banyak yang top down, yang dibuat oleh pimpinan dan anak buah tidak bisa mengkritik banyak. "Kalian tidak bisa memiliki terlalu banyak suara individu. Seperti semakin banyak tentara, semakin sedikit individu punya suara. Mereka harus mengikuti pimpinan," sebut seorang pegawai yang keluar tahun 2017.

Kebiasaan Nyeker Bikin Karyawan Facebook Bertengkar

Foto: Huffpost
Dalam kasus lain, ada keributan soal alas kaki di kantor Facebook. Seperti diketahui, Mark Zuckerberg dan Sheryl Sandberg bisa dibilang dua orang terpenting di Facebook. Zuck selaku CEO mengatur sisi teknis, sedangkan Sandberg memegang bagian sales dalam tanggung jawabnya sebagai COO.

Menariknya, dua aspek tersebut ibarat dua sisi mata uang jika dilihat dari budaya para pegawainya. Para teknisi bekerja dalam diam, berusaha senyaman mungkin, dengan usia pekerja masih muda, serta didominasi laki-laki. Sedangkan sales terkesan berisik, dan lebih beragam perihal usia dan jenis kelamin pegawainya.

Kemudian, mayoritas para teknisi di Facebook bisa menjalani karir di sana tanpa bertemu satu pun orang sales. Di sisi lain, hanya para pegawai sales terbaik yang bisa membangun relasi dengan para teknisi, misalnya dalam menyampaikan kendala teknis yang dipermasalahkan oleh klien.

Ya, kedua kubu bisa dibilang jarang berinteraksi di kebanyakan kantor Facebook. Bahkan, di kantor pusat di Menlo Park, California, mereka bekerja terpisah di gedung berbeda. Menariknya, sudah mereka jarang bertemu, sekalinya dipertemukan malah memunculkan masalah. Salah satunya seperti yang terjadi pada 2015 lalu.

Facebook memiliki kantor di New York, AS. Di sana, para teknisi dan sales bekerja di lantai terpisah, namun tetap memiliki kantin yang sama. Para pegawai sales kerap membawa klien ke kantor, ttak jarang para mereka diajak makan di kantin tersebut. Nah, masalah timbul dari perilaku para teknisi yang sering dijumpai di sana.

Mantan pegawai sales Facebook mengatakan para teknisi pergi ke kantin tanpa sepatu. Bahkan, ia mengaku sering melihat mereka pergi ke kamar kecil telanjang kaki, dan tetap nyeker saat ke kantin. "Hei, kita punya klien. Tolong tetap tanamkan di kepala ini adalah lingkungan profesional," ujar salah satu karyawan lain, sebagaimana detikINET kutip dari CNBC.

Ujaran tersebut ternyata memantik bara api di internal kantor Facebook di New York. Sejumlah mantan pegawai raksasa jejaring sosial tersebut mengatakan bahwa insiden tersebut dikenal dengan 'shoegate'. Ada juga yang mengatakan bahwa itu merupakan salah satu bentuk bentrokan budaya.

Debat pun tak terhindarkan, dengan pentingnya peran departemen masing-masing jadi topik utama. Para teknisi dengan perannya dalam membangun produk, sedangkan karyawan sales berperan dalam menjaga Facebook tetap 'menyala' dengan menarik para pengiklan.

Insiden tersebut diketahui tidak membuat Facebook menerapkan kebijakan baru terkait penggunaan sepatu bagi karyawan. Walau demikian, pada 2016, perusahaan tersebut menyediakan ruang tambahan di New York bagi dua departemen terkait.

Halaman 2 dari 6
(fyk/krs)