Pada 2018 lalu mereka melakukan survei terhadap 100 perusahaan dari 16 industri berbeda. Hasilnya, hanya 30,8% responden yang sudah menerapkan teknologi digital secara jangka panjang, atau istilahnya disebut sebagai digitally determined.
Dari angka tersebut, hanya 2,5% yang sudah mengubah model bisnisnya dengan mentransformasi pasar dan konsumen dengan teknologi digital. Sedangkan sisanya masih berada di tahap integrasi berkelanjutan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penjelasan tersebut disampaikan oleh Head of Operations IDC Indonesia Mevira Munindra. Ia menambahkan, dari 16 industri yang menjadi responden salah satu yang paling potensial dalam menerapkan transformasi digital adalah perbankan.
"Ketika bicara tentang digital transformation, ketika (para perusahaan) berkompetisi untuk menciptakan hal baru, maka itu pasti akan membutuhkan digital determination, yaitu suatu karakteristik yang dimiliki oleh suatu perusahaan untuk transform," ujarnya di Jakarta, Kamis (31/1/2019).
Dari determinasi tersebut, ia menambahkan, ada sejumlah aspek di dalam perusahaan yang membuatnya bisa disebut sebagai digitally determined. Salah satunya adalah adanya strategi digital yang menyatukan aspek teknogi informasi dengan digitalisasi.
"Digital transformation itu adalah corporate strategy. Jadi, salah satu elemen yang kami lihat dimiliki oleh digitally determined enterprise adalah one single corporate strategy," kata Mevira.
Selain itu, ada investasi jangka panjang, memberikan informasi mengenai transformasi digital ke manajemen, serta memiliki platform digital tunggal yang mengintegrasikan seluruh unit bisnisnya. Bagi Mevira, ini masih belum ditemukan di banyak perusahaan di Indonesia.
Meski demikian, memang tidak murah bagi sebuah perusahaan untuk bisa menjadi digitally determined. Data dari IDC menunjukkan bahwa para korporasi di Tanah Air bisa menggelontorkan dana hingga Rp 514 triliun di sektor TIK pada 2021 mendatang.
(mon/krs)