"Indosat, XL dan Tri nekat ingin menerapkan biaya interkoneksi baru, meski Kemkominfo menunda pemberlakuannya. Itu karena mereka ingin untung dua kali. Lagi-lagi secara tidak fair," tuding Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Muhammad Ridwan Effendi, Jumat (2/9/2016).
Seperti diketahui, dalam SE Nomor 1153/M.KOMINFO/PI.0204/08/2016 yang ditandatangani oleh Plt. Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Geryantika Kurnia, dan dirilis pada 2 Agustus 2016 lalu, biaya interkoneksi untuk 18 skema panggilan telepon tetap dan seluler diturunkan secara agregat sekitar 26%. Khusus untuk seluler, misalnya, dari Rp 250 menjadi Rp 204.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bahkan biaya jaringan Indosat dan XL sudah di bawah (Rp204) itu. Biaya jaringan Indosat di sekitar Rp 86 dan XL Rp 65. Itu menurut perhitungan mereka. Jadi betul mereka akan untung dua kali, jika tarif interkoneksi diberlakukan simetris pada Rp 204. Sedangkan Telkomsel akan rugi dua kali," masih kata Ridwan.
Keuntungan pertama yang dimaksud, biaya jaringan XL dan Indosat masing-masing Rp 65 dan Rp 86. Dari sini, dengan menerapkan biaya interkoneksi yang baru Rp 204, XL untung Rp 139, sedangkan Indosat untung Rp 118 per menit percakapan. "Ini keuntungan pertama Indosat dan XL," kata Ridwan.
Keuntungan keduanya adalah, ketika ada pelanggan Indosat menelepon ke pelanggan Telkomsel, perusahaan milik Ooredoo Qatar ini hanya membayar biaya interkoneksi sebesar Rp 204, bukan lagi 250 per menit. Demikian juga dengan XL. "Jadi, Indosat dan XL di sini untung lagi Rp 46," ulasnya.
Padahal, menurutnya, bagi masyarakat tidak ada keuntungan signifikan yang bisa mereka nikmati. Bahkan, tegasnya, operator telekomunikasi yang mayoritas sahamnya dimiliki Axiata dari Malaysia dan Ooredoo dari Qatar itulah yang akan menikmati keuntungan.
"Bagaimana masyarakat bisa menikmati keuntungan, biaya interkoneksi hanya turun Rp 46, sedangkan tarif offnet yang dibebankan kepada masyarakat di kisaran Rp 2000 per menit. Jadi, keuntungan itu akan jadi tambahan keuntungan Indosat dan XL," kata Ridwan.
Bahkan, ia meyakini, operator telekomunikasi tidak akan menurunkan tarif yang dibebankan kepada pelanggan atau tarif retail. Ridwan curiga, tujuan operator hanya mencari keuntungan semata dari polemik penurunan biaya interkoneksi ini. "Feeling saya, operator tidak akan serta merta menurunkan tarif retail," kata Ridwan.
Alasan lain yang diungkapkan Ridwan, adalah keengganan para operator swasta untuk memenuhi kewajibannya membangun jaringan telekomunikasi di seluruh pelosok Tanah Air. Selama ini, kata dia, baru Telkomsel dan Telkom saja yang membangun jaringan telekomunikasi hingga ke seluruh pelosok, bahkan hingga ke daerah perbatasan dengan negara-negara tetangga.
"Indosat, XL, Tri dan Smartfren kan hanya membangun di daerah perkotaan saja. XL, bahkan, semuanya 100% yang bangun jaringan adalah Huawei, dan XL tinggal sewa saja. Makanya biaya jaringannya murah banget," kata Ridwan.
Sementara dalam kesempatan yang terpisah, President Director & CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli dan President Director & CEO XL Axiata Dian Siswarini, mengatakan akan tetap menerapkan biaya interkoneksi baru, meski Kominfo menundanya.
Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Noor Iza, telah menyatakan bahwa SE yang dirilis sebelumnya, belum bisa diterapkan per 1 September 2016 karena Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI) belum lengkap terkumpul. Oleh karena itu, operator menggunakan acuan biaya interkoneksi Rp 250.
Sedangkan President Direktur Smartfren Telecom Merza Fachys, yang juga Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), mengatakan biaya interkoneksi diberlakukan secara business to business (B2B) atau atas kesepakatan masing-masing operator.
Ridwan pun mengaku sependapat dengan Merza. "Biaya interkoneksi yang baru tidak bisa diterapkan tanpa perjanjian B2B. Biaya interkoneksi kan urusan perusahaan A bayar ke perusahaan B. Jadi, ini murni B2B," pungkasnya. (rou/fyk)