Maraknya praktik judi online (judol) di Indonesia kembali jadi sorotan setelah Presiden RI Prabowo Subianto menyebut kerugian negara akibat aktivitas ilegal ini mencapai USD 8 miliar atau setara Rp 133 triliun per tahun. Pakar keamanan siber menilai judol sudah jadi krisis multidimensional.
Ketua Indonesia Cyber Security Forum, Ardi Sutedja K., menilai fenomena maraknya judol di Indonesia bukan lagi sekadar persoalan hukum, tetapi telah berkembang menjadi krisis multidimensi yang mengancam ketahanan ekonomi dan sosial nasional.
"Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin dari krisis multidimensi yang mengancam fondasi ekonomi dan sosial bangsa," ujar dalam pernyataan tertulisnya, Senin (3/11/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ardi menjelaskan, judi online kini telah berubah menjadi ekosistem kejahatan siber lintas batas. Berdasarkan data PPATK, perputaran dana judi online diproyeksikan menembus Rp1.200 triliun pada 2025, meningkat drastis dari tahun sebelumnya. Menurutnya, kebocoran belanja rumah tangga ke sektor ilegal menekan konsumsi produk riil dan meningkatkan risiko kredit macet di sektor mikro.
"Arus dana besar ini menghisap likuiditas lokal ke luar negeri melalui payment gateway tak berizin, menciptakan kebocoran ekonomi signifikan bagi negara," tulis Ardi.
Secara sosial, dampak judi online juga mengkhawatirkan, mulai dari kasus perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, keterlibatan anak dan remaja, hingga tindak kriminal untuk menutup kerugian.
Ardi mengapresiasi langkah pemerintah yang telah menunjukkan hasil awal positif. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) melaporkan telah menurunkan lebih dari 2,2 juta konten judi online hingga September 2025, sementara OJK memblokir 23.929 rekening dan Polri mengungkap 235 kasus dengan 259 tersangka.
Namun ia menegaskan, keberhasilan bukan diukur dari jumlah situs yang diblokir, melainkan dari transformasi fundamental ekosistem digital Indonesia agar lebih aman, adil, dan produktif bagi masyarakat.
Ardi menilai tantangan masih besar karena operator judi daring banyak beroperasi dari yurisdiksi luar negeri yang melegalkan perjudian, dengan rantai pasokan melibatkan influencer, dompet digital, hingga payment processor asing.
Ardi mengungkapkan bahwa penanganan judol memerlukan pendekatan whole-of-government yang melibatkan seluruh kementerian, lembaga, dan sektor swasta. Ia mengusulkan strategi berlapis, mulai dari penguatan kapasitas takedown konten maksimal 4 jam, pemblokiran rekening mencurigakan dalam 24 jam, kerja sama internasional lintas yurisdiksi, regulasi ketat terhadap app store dan iklan digital, hingga penerapan DNS resolver nasional untuk penyaringan di tingkat operator telekomunikasi.
Ia juga menekankan pentingnya penegakan hukum terhadap pencucian uang dan perampasan aset, serta layanan pemulihan keluarga melalui konseling dan literasi digital.
"Keberhasilan strategi ini dapat diukur melalui indikator seperti penutupan 95% rekening mencurigakan dalam 24 jam dan penurunan pengguna aktif situs judi online minimal 30%," pungkasnya.
(agt/agt)











































