Pakar keamanan siber Pratama Persadha menyoroti belum dibentuknya lembaga pengawas Pelindungan Data Pribadi. Padahal, tenggat waktu pembentukannya harus dilakukan sebelum pada tanggal 17 Oktober 2024.
Berbagai insiden siber terjadi secara beruntun di Indonesia, mulai dari kegagalan sistem PDN karena serangan ransomware, penjualan data pribadi Inafis, BAIS, Kemenhub, KPU, peretasan dan pencurian data pribadi dari 4,7 juta ASN yang berasal dari BKN, serta yang paling akhir adalah dugaan kebocoran data Dirjen Pajak oleh Bjorka.
"Maraknya kebocoran data yang terjadi ini juga menyebabkan meningkatnya penipuan-penipuan yang memanfaatkan data pribadi yang bocor tersebut, penggunaan data curian untuk mengambil pinjol, serta menerima pengiriman iklan tentang ajakan bermain judi online," ujar Pratama dalam siaran pers yang diterima detikINET.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Chairman lembaga riset keamanan siber CISSReC ini, mengungkapkan salah satu penyebab maraknya kebocoran data yang terjadi adalah belum adanya sanksi baik sanksi administratif maupun sanksi berupa denda kepada perusahan atau organisasi yang mengalami kebocoran data.
"Dimana sanksi hukuman tersebut hanya dapat dijatuhkan oleh lembaga atau komisi yang dibentuk oleh pemerintah dalam hal ini adalah Presiden," ucapnya.
Lebih lanjut, Pratama mengatakan bulan depan, tepatnya pada tanggal 18 Oktober 2024 akan menjadi hari pertama Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) mulai berlaku setelah ditetapkan dan disahkan pada tanggal 17 Oktober 2022. UU ini telah memberikan waktu selama dua tahun untuk Pengendali Data Pribadi serta Prosesor Data Pribadi dan pihak lain yang terkait dengan pemrosesan data pribadi untuk melakukan penyesuaian.
Di UU PDP ini memberikan kerangka hukum yang lebih jelas mengenai pengumpulan, penggunaan, dan penyimpanan data pribadi, serta memberikan sanksi yang lebih tegas bagi pelanggaran. Namun sangat disayangkan Presiden Joko Widodo sampai sekarang belum juga membentuk lembaga ini.
"Apabila Presiden tidak dengan segera membentuk Lembaga Penyelenggara PDP sampai batas waktu 17 Oktober 2024, Presiden Jokowi berpotensi melanggar UU PDP," kata paka keamnana siber ini.
Disampaikannya, dengan tidak adanya Lembaga Penyelenggara PDP yang dapat memberikan sanksi tersebut, maka perusahaan atau organisasi yang mengalami kebocoran data pribadi seolah-olah abai terhadap insiden keamanan siber.
Bahkan, mereka juga tidak mempublikasikan laporan terkait insiden tersebut padahal hal tersebut melanggar pasal 46 ayat 1 yang diamanatkan dalam Undang-Undang no 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi dimana UU tersebut mengatur bahwa Dalam hal terjadi kegagalan Pelindungan Data Pribadi,
"Pengendali Data Pribadi wajib pemberitahuan secara tertulis paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam kepada Subjek Data Pribadi dan lembaga," kata Pratama.
"Adapun data apa yang perlu diungkapkan diatur dalam pasal 46 ayat 2 UU PDP yaitu minimal terkait Data Pribadi yang terungkap, kapan dan bagaimana Data Pribadi terungkap dan upaya penanganan dan pemulihan atas terungkapnya Data Pribadi oleh Pengendali Data Pribadi," sambungnya.
Oleh karena itu, pembentukan Lembaga Penyelenggara PDP merupakan sebuah urgensi yang harus segera diselesaikan oleh Pemerintah serta Presiden terutama jika dilihat dari 3 (tiga) perspektif, yaitu keamanan siber, keamanan nasional, ketahanan nasional.
"Lembaga Penyelenggara PDP yang dibentuk nantinya diharapkan sesuai dengan best practice yang ada, diantaranya adalah Lembaga Penyelenggara PDP harus memiliki wewenang dan kewenangan yang kuat untuk mengatur, mengawasi dan menegakkan kepatuhan terhadap standar keamanan data pribadi," pungkasnya.
(agt/agt)