Ratusan Exchanger Kripto 'Nakal' Beroperasi di RI, Kominfo Siap Tindak?

Agus Tri Haryanto - detikInet
Kamis, 20 Apr 2023 21:56 WIB
Ilustrasi kripto di Indonesia. Foto: Dok. Shutterstock
Jakarta -

Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) mengungkapkan Binance dan 300 exchanger asing kripto belum terdaftar tapi sudah beroperasi di Indonesia. Apa tanggapan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo)?

Persoalan tersebut telah ABI ungkapkan melalui surat yang dikirimkannya ke Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Kementerian Perdagangan (Kemendag). Surat itu berisikan aduan terkait exchanger asing kripto di Indonesia.

Chairwoman ABI Asih Karnengsih mengatakan pihaknya mengadukan terkait banyaknya exchanger asing yang beroperasi di Indonesia namun belum terjamah regulasi yang ada. Para exchanger kripo asing ini juga banyak yang belum terdaftar di Bappebti. Salah satu yang diadukan adalah Binance.

"Binance cuma satu contoh dari 300 yang sudah disebutkan yang penggunanya besar di Indonesia, ini jadi perhatian sendiri dari satu pemerintahan. Dari industri sendiri kita sudah kirimkan surat ke Bappebti terkait exchanger's ini," tuturnya.

Kominfo yang memiliki tugas terkait penyelenggaraan di bidang komunikasi dan informatika, termasuk penatakelolaan aplikasi informasi, turut mengomentari persoalan kripto yang tidak terdaftar di Indonesia.

Disampaikan Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Dirjen IKP) Kementerian Kominfo, Usman Kansong, mengungkapkan sejauh ini pihaknya belum menerima surat permintaan dari Bappepti terkait kripto 'nakal' tersebut.

"Bila ada permintaan Bappepti, Kominfo akan ambil langkah sesuai peraturan perundang-undangan terhadap platform dimaksud," ungkap Usmang saat dihubungi detikINET.

Sebelumnya, Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko mengakui bahwa penyerapan pajak kripto nasional belum begitu optimal. Dia menjelaskan belum optimalnya penerimaan pajak kripto tidak lepas dari masih lesunya pasar kripto di 2022.

"Transaksi kripto di 2022 itu kan jauh menurun dibandingkan 2021. 2021 itu kan Rp 859,9 triliun, 2022 itu kan sekitar Rp 300an triliun. Artinya kan potensinya memang menurun di 2022," tuturnya.

"Tapi kan pengenaan pajak baru dikenakan di 2022 di Mei. Nah kalau kita bandingkan nilai transaksi Mei-Desember itu kan juga relevan dengan angka itu. Artinya tidak ada transaksi yang tidak kena pajak," tambahnya.

Pemerintah sendiri mentapkan tarif atas transaksi aset kripto sebesar 0,1% untuk PPh Pasal 22 dan 0,11% untuk PPN final. Tarif itu untuk untuk transaksi di exchanger dalam negeri yang sudah terdaftar di Bappebti.

Sementara untuk transaksi kripto di exchanger luar negeri tarifnya yakni 0,2% untuk PPh Pasal 22 dan 0,22% untuk PPN final. Namun permasalahannya pengenaan pajak untuk transaksi kripto di exchanger luar negeri masih belum optimal.



Simak Video "Video OJK Catat Jumlah Investor Kripto RI Tembus Angka 13,71 Juta"

(agt/agt)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork