Belakangan ini ada perbedaan utama dalam atap sebagai bagian bangunan, yang tadinya hanya dilihat sebagai penahan panas dan penutup ruangan sebuah bangunan, saat ini menjadi salah satu instrumen aset penghasil energi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, kantor bahkan pabrik atau fasilitas industri.
Tentu sudah bukan rahasia, Indonesia mempunyai sumber daya matahari yang begitu berlimpah. Bahkan di beberapa lokasi seperti di Kupang atau Surabaya yang dikenal panas mataharinya nyelekit malah sebenarnya memiliki potensi untuk menghasilkan uang bagi para pemilik atap rumahnya.
Adalah sebuah beleid berupa Peraturan Menteri ESDM No 49 Tahun 2018 yang memungkinkan semua itu, sejak diiundangkan berdasarkan data dari Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, pengguna telah tumbuh sejak 2018 sebesar 1000% lebih hingga Oktober 2021.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia yang berkisar 5%, tentunya pertumbuhan industri akibat tingginya permintaan pengguna sektor ini tentu sangat fenomenal. Apalagi dalam suasana pandemi dimana banyak online school dan tren WFH membuat pengguna listrik berbelanja lebih banyak menggunakan kantong pribadi karena menggunakan listrik di rumah.
Kembali ke aturan Permen 49 tadi memang memuat beberapa perubahan mendasar untuk pemilik atau pengguna Pembangkit Listrik Surya Atap atau lazimnya disebut solar roof.
Yang utama adalah sebagai pengguna kemajuan teknologi berbasis sel surya, masyarakat Indonesia berhak memiliki pembangkit listrik pribadi di atas mahkota bangunannya, jargon 'pemilik pembangkit listrik' bukan hanya didominasi oleh perusahaan besar atau segelintir kelompok saja tetapi bisa dimiliki bahkan dimanfaatkan oleh pengguna pribadi atau UMKM misalnya di ruko tempatnya bekerja.
Kedua, meskipun data dunia biaya teknologi kristalin untuk modul sel surya kerap mengalami tren penurunan dalam satu dekade terakhir solar roof tetap memiliki 'missing puzzle' yakni biaya dan perawatan baterai yang tidak mudah dan cenderung mahal.
Baterai raksasa tersebut adalah PLN. Di sinilah patut kita apresiasi gestur dari PLN dan pemerintah karena berkat konsep 'net metering' ini maka pengembalian modal pengguna solar roof dapat terakselerasi dengan investasi yang tidak berat karena 'nir baterai' atau tempat penyimpanan energi.
Dengan segala kelebihan tadi, sayang disayangkan bahwa ketidakpahaman masyarakat terhadap teknologi yang sebetulnya tidak baru-baru amat di dunia internasional ini terkadang dimanfaatkan oleh oknum. Ada beberapa kejadian dimana masyarakat merasa kesulitan mendapatkan informasi yang tepat, atau malah ada stigma 'dipersulit' oleh oknum terkait dalam perizinan ,penyambungan maupun utilisasi solar roof di rumahnya..
Kembali ke solar roof, sekompleks apa waktu, investasi, dan pemasangannya?
Untuk ilustrasi saja, setiap pemasangan 2 kwp solar roof membutuhkan hanya waktu pemasangan 2 hari, dengan syarat bahwa pelanggan adalah pelanggan paskabayar PLN dan atapnya dalam kondisi baik untuk dipasangi solar roof.
Biayanya berkisar Rp 25 jutaan dan beberapa lembaga keuangan konvensional maupun koperasi saat ini juga sudah menyediakan cicilan antara 3-5 tahun. Melek literasi bahwa pembayaran yang dilakukan untuk solar roof akan menjadi aset juga menjadi salah satu tantangan berkembangnya para pengguna.
Bisa kita bayangkan kalau kita bayarkan untuk listrik maka biaya tersebut akan menjadi non aset, dan apabila digunakan untuk cicilan solar roof, niscaya tahun ke 6 hingga 30 tahun mendatang akan menjadi aset yang selalu menghasilkan.
*Penulis Anthony Utomo adalah pakar panel surya dan Founder of SolarUV
Baca juga: Ini Dia HP Bertenaga Surya Pertama di Dunia |
(ask/fay)