Paalnya, internet dan khususnya media sosial banyak digunakan untuk menyebarkan konten-konten terorisme dan jadi perhatian khusus dari pemerintah. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pun melakukan upaya pemblokiran, antara lain dengan mesin AIS atau mesin pengais konten negatif yang digunakan untuk mencari konten terkait radikalisme di Internet.
Namun, pengamat telekomunikasi menganggap bahwa upaya pemerintah belum efektif dan masih ada konten radikalisme berseliweran. "Kominfo punya mesin AIS 200 milyar ini harusnya memiliki fungsi yang lebih baik daripada Google. Ini harus dioptimalkan, jangan ada kesan kalau ini hanya proyek," kata Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, melalui telepon kepada detikINET, Jumat (18/5/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika ditanya apakah pemerintah perlu mengambil langkah ekstrim untuk mengawasi setiap bentuk komunikasi masyarakat seperti pemerintah Inggris yang sedang menggarap Communications Data Bill, Heru beranggapan bahwa itu merupakan persoalan yang dilematis.
"Dilema apakah bisa memasuki ruang pribadi masyarakat, tapi ada Undang-Undang yang menyatakan bahwa untuk hal-hal tertentu bisa masuk ruang privasi publik seperti terorisme, korupsi dan narkoba," paparnya
Tetapi, Heru mengatakan, pengawasan seperti itu dapat dilakukan asalkan dengan bertanggung jawab dan pemerintah bersikap transparan terhadap individu yang diawasi.
Untuk kritik dan sarannya terhadap upaya pemerintah, Heru menjelaskan ada tiga poin yang dapat dilakukan pemerintah.
"Pertama, penyelesaian konten radikalisme itu harus terus menerus. Kedua, ketika pemerintah sudah memblokir jelaskan apa yang diblokir. Ketiga, kalau sudah benar diblokir harusnya ketika dicari tidak ada. Tidak cocok penjelasan pemerintah ke publik ketika bilang sudah diblokir tapi ketika dicari masih ada," pungkas Heru. (fyk/fyk)