Menurut Chuantang, langkah menyubsidi tersebut juga disebutnya tak bisa bertahan dalam jangka panjang. Ia angkat bicara karena persaingan Uber dan Didi Kuaidi di China belakangan ini memanas.
Kedua penyedia layanan itu disebut mengeluarkan uang miliaran dolar milik para investornya untuk mendanai tarif diskon bagi para penggunanya, juga untuk membayar gaji para sopirnya, seperti dilansir dari Reuter, Senin (14/3/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat ini sangat dibutuhkan untuk melakukan reformasi secara mendalam dalam industri taksi, dan mengatur layanan taksi untuk mengembalikan mereka ke jalan yang benar dan perkembangan yang berkelanjutan," ujarnya dalam pernyataan resmi.
Sementara di Indonesia, hari ini, Senin (14/3/2016) terjadi aksi mogok massal akan dilakukan sopir angkutan umum mulai kopaja, taksi, mikrolet sampai bajaj di Jakarta untuk memprotes transportasi berbasis aplikasi online.
Para peserta aksi mogok itu memarkir kendaraannya secara berderet di Silang Barat Daya Monas. Kehadiran layanan transportasi dengan aplikasi itu berimbas pada para sopir angkutan umum lain, contohnya angkot.
Mereka yang tak paham teknologi menjadi tersisih dan pendapatannya berkurang. "Ya gimana, itu adanya ojek online bikin pendapatan kurang. Belum lagi ada taksi online," kata Inang pengemudi Angkot 18 Kp Melayu-Pd Gede yang ditemui di Terminal Kp Melayu, Jaktim, Senin (14/3/2016). (asj/ash)