Perlu Literasi Digital Generasi Muda

Perlu Literasi Digital Generasi Muda

ADVERTISEMENT

Kolom Telematika

Perlu Literasi Digital Generasi Muda

Penulis: Donny B.U. - detikInet
Selasa, 27 Okt 2015 09:13 WIB
Ilustrasi (istimewa)
Jakarta -

Tahukah Anda bahwa sekitar 80% pengguna Internet di Indonesia adalah generasi muda kategori digital native? Yang dimaksud dengan digital native di sini adalah mereka yang lahir pada tahun 1980 dan sesudahnya.

Menurut hasil riset yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bersama dengan Pusat Kajian Komunikasi (Puskakom) Universitas Indonesia, total jumlah pengguna Internet di Indonesia per awal 2015 adalah 88.1 juta orang.

Dari angka tersebut, maka dapat dihitung jumlah pengguna kategori generasi muda adalah tak kurang dari 70 juta orang, dengan smartphone sebagai gawai yang paling banyak digunakan. 80% adalah prosentase yang signifikan dan sejatinya dapat (dan harus) menentukan corak tata kelola Internet yang dibangun pengampu kebijakan.

Sebagaimana dikutip dari laporan berjudul Measuring the Information Society 2013 yang dirilis International Telecommunication Union (ITU), salah satu agensi pengampu kebijakan global di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dijelaskan bahwa keberadaan generasi muda perlu mendapatkan perhatian khusus dari pengambil kebijakan.

Semisal, perlu adanya kebijakan yang memahami bagaimana mereka belajar, bermain dan bahkan melibatkan diri mereka ke tengah masyarakat. Kebijakan yang disusun pun haruslah mampu merencanakan masa depan mereka, serta belajar dan tumbuh bersamanya.

Namun, masih sebagaimana catatan dalam isi laporan tersebut, tidak pula serta-merta kita dapat mengidentifikasi generasi muda digital native hanya dari tahun kelahiran, penggunaanan teknologi informasi dan komunikasi TIK) serta kepemilikan akses (Internet) saja.

Satu lagi pra-syarat seseorang dapat dinyatakan sebagai generasi muda digital native adalah jika mereka juga “belajar tentang literasi digital” (learned digital literacy), baik secara formal maupun informal.

Secara umum yang dimaksud dengan literasi digital adalah kemampuan menggunakan TIK untuk menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, membuat dan mengkomunikasikan konten/informasi, dengan kecapakan kognitif maupun teknikal.

Berdasarkan dokumen risalah Best Practice Forum on Online Child Protection, Internet Governance Forum (IGF) 2014, pendidikan literasi digital adalah keniscayaan untuk mendorong pengguna Internet, khususnya yang masih belia usia, agar mampu menggunakan Internet dengan aman, nyaman dan bertanggungjawab.

Ini selaras dengan salah satu tujuan utama pendidikan, yaitu memberikan bekal kemampuan bagi mereka untuk dapat memilah dan memilih hal yang positif, baik online maupun offline. Risalah tersebut juga mengingatkan perlu adanya kerjasama pemangku kepentingan majemuk (multistakeholder) dalam menjalankan literasi digital tersebut.

Di Indonesia, rintisan Indonesia Child Online Protection/ID-COP, adalah salah satu perwujudan dari semangat kerjasama multistakeholder tersebut. ID-COP menjadi semacam hub (sentra kegiatan) terbuka dan inklusif atas berbagai institusi yang visi-misinya terkait dengan keselamatan anak Indonesia (di Internet).

Beberapa institusi yang menginisiasi ID-COP diantaranya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Nawala Nusantara, ECPAT Indonesia, Yayasan Sejiwa, Relawan TIK Indonesia dan ICT Watch.

Sejumlah konten literasi digital pun sudah diusung sejumlah pihak di Indonesia dalam berbagai bentuk, semisal oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui program “Internet Cakap”, melalui buku komik “Yuk Berinternet” dan juga akun twitter @internetsehat.

Keragaman khas inilah yang kemudian akan disuarakan oleh Indonesia pada hari IGF 2015 di Joao Pessoa, Brazil, 10-13 November 2015, dalam workshop bertajuk “Child Online Protection through Multistakeholder Engagement”.

Meskipun telah ada sejumlah kegiatan dan konten tersebut, pendidikan literasi digital yang paling efektif adalah yang dilakukan di dan sejak sekolah dasar dan sekolah menengah.

Penyampaian literasi digital tersebut tidak harus kemudian berbentuk mata pelajaran tersendiri dan/atau mengubah kurikulum, karena literasi digital dapat pula terintegrasi (baca: disisipkan) ke dalam mata pelajaran dan/atau mendukung bahan ajar (dan proses belajar-mengajar) yang telah ada sebelumnya.

Hal ini selaras dengan Plan of Action, World Summit on the Information Society (WSIS) yang dicanangkan PBB dan didukung Indonesia, khususnya tentang Capacity Building, yang meminta setiap negara untuk: “develop domestic policies to ensure that ICTs are fully integrated in education and training at all levels, including in curriculum development, teacher training, institutional administration and management, and in support of the concept of lifelong learning”.

Hal yang dipinta tersebut tentu akan terwujud segera jika di dalam negeri mendapatkan dukungan koordinasi, kebijakan dan implementasi yang serius dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengampu sekolah umum dan kejuruan serta Kementerian Agama yang mengampu madrasah dan pesantren.

Yang kemudian patut untuk diingat kelak saat penyiapan materi literasi digital, berdasarkan laporan ITU sebagaimana tersebut di paragraph awal tulisan ini, bahwa generasi muda digital native memiliki ciri antara lain cenderung tidak sabar dengan hal yang dianggapnya lambat, memiliki cara yang sistematis untuk memperoleh informasi dan pengetahuan, serta mengharapkan respon langsung dari teknologi yang mereka gunakan.

Selain mereka sangat adaptif, kinerja terbaik mereka adalah ketika beraktivitas dalam jejaring serta mampu menggunakan berbagai teknologi untuk merawat jejaring pertemanan tersebut.

Masih dalam dokumen Plan of Action WSIS tersebut, ditegaskan pentingnya pemberdayaan komunitas lokal di wilayah pedesaan untuk menggunakan TIK dan mempromosikan produksi konten yang bermanfaat dan bermakna sosial demi kepentingan bersama.

Ini menegaskan kembali signifikansi peran Relawan TIK Indonesia, Gerakan Desa Membangun, serta berbagai komunitas dan pegiat TIK dalam mendorong literasi digital di wilayah desa masing-masing.

Sejumlah contoh unik dan menarik tentang bagaimana pegiat TIK desa berdaya dan memberdayakan masyarakat di pedesaan dengan menggunakan TIK, dapat pula disimak melalui film dokumenter Asadessa hasil garapan WatchdoC yang baru saja dirilis tahun ini.

Pada akhirnya, Internet adalah tentang dinamika pipa jejaring global yang berkembang pesat, pun konten atau informasi yang mengalir deras di atasnya dari satu titik ke titik lainnya secara lintas batas.

Untuk itulah maka pengampu kebijakan di Indonesia hendaknya mengakselerasi koordinasi dan implementasi pendidikan literasi digital kepada generasi muda digital native Indonesia, dengan senantia melakukan pembaharuan dan sinkronisasi atas tata kelola Internet secara global.

Hanya dengan demikian maka potensi Internet akan terus dapat dieksplorasi sisi positifnya dan dimanfaatkan seluas-luasnya bagi pembangunan bangsa Indonesia.


*) Ini adalah tulisan kedua dari lima tulisan seri tentang tata kelola Internet. Penulis adalah Direktur Eksekutif ICT Watch dan aktif dalam diskursus tata kelola Internet. Dapat dihubungi melalui email donnybu@ictwatch.id

(rou/rou)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT