"Soal pajak e-commerce, banyak iklan-iklan yang berseliweran tapi nggak punya PT (perusahaan) di sini. Berarti tanpa pajak. itu sebetulnya atas masukan dari industri, menurut mereka itu sebenarnya bisa jadi subyek pajak," kata Menkominfo Rudiantara di Hotel Aryaduta, Jakarta, Selasa (3/2/2015).
Lantas bagaimana cara mengenakan pajaknya jika perusahaannya tak ada di sini? "Itu masih dibicarakan dengan Menteri Keuangan. Belum tahu bentuknya seperti apa, tapi yang jelas itu subyek kepada pajak," jawab menteri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada orang pasang iklan, mereka tahu pasar di Indonesia besar, seperti Facebook, Yahoo, mereka itu tahu Indonesia itu pasarnya sangat besar. Dan itu iklannya dipasangnya ke luar, bayarnya ke luar, dan nggak ada subyek pajak ke Indonesia."
Menteri yang akrab disapa Chief RA ini pun menegaskan, Kementerian Kominfo tidak perlu membuat aturan seperti itu. "Karena itu dari sisi pajak, fiskal. Makanya yang rapat dengan kami itu Kemenkeu," ucapnya.
"Ini seperti megang ikan, kalau dipegang terlalu kencang mati, kalau terlalu kendor lari itu ikan. Nah sekarang itu ikan-ikannya sedang lari di dunia maya sana. Tapi jangan sampai mati juga," imbuh menteri coba berilustrasi.
Daftar Negatif Investasi
Kemudian terkait soal target penerimaan pajak dari para pedagang online, menteri menegaskan bahwa e-commerce sekarang masih dalam kategori daftar negatif investasi (DNI) dimana asing tidak boleh menjadi pemegang saham.
"Akibatnya kalau perusahaannya, dalam hal ini Tokopedia, ada orang punya uang dari asing, mau masuk nggak bisa. Distrukturlah ia dalam bentuk pinjaman. Distrukturnya di luar negeri. Jadi yang menikmati siapa?" papar Chief RA.
"Beda kalau misalkan asing diperbolehkan, tapi harus digarisbawahi, kontrol tetap di Indonesia. Walaupun nanti DNI diubah, kontrol tetap harus ada di indonesia. Beda sama DNI, itu nggak boleh sama sekali. Kalau dibuat tidak boleh sama sekali, nggak praktis," pungkasnya.
(rou/rou)