Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menanggapi santai gugatan sejumlah LSM dan perorangan terhadap Peraturan Menteri (Permen) Kominfo No 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif ke Mahkamah Agung (MA).
"Tanggapan saya positif saja, karena setiap warga negara berhak mengeluarkan pendapat, apalagi di ranah hukum," ujar Kepala Humas dan Pusat Informasi Kementerian Kominfo Ismail Cawidu saat dikonfirmasi detikINET, Selasa (25/11/2014).
Dijelaskan Ismail, isi Permen Situs Negatif yang dipermasalahkan tersebut sejatinya lebih membahas soal tata cara penanganan konten negatif di internet.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ismail menambahkan, tata caranya pemblokiran konten negatif internet di Indonesia secara umum itu ada dua. Pertama, adalah langsung diblokir untuk konten pornografi, karena ini diwajibkan oleh Undang-Undang. Kedua, harus dilaporkan dulu ke institusi terkait sebelum diblokir.
Pun demikian, Ismail mengklaim Kominfo terbuka untuk diskusi, termasuk untuk pembahasan Permen Situs Negatif ini.
"Tak masalah jika nanti saat judicial review ada evaluasi. Tetapi kalau tak ada tata cara nanti tak ada acuannya. Permen ini kan penjabaran dari UU," tutupnya.
Sebelumnya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Perkumpulan Mitra TIK Indonesia (ICT Watch), Shelly Woyla Marliane, Damar Juniarto, Ayu Oktariani, dan Suratim secara resmi mengajukan permohonan uji materi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet bermuatan Negatif (Permen 19/2014) ke Mahkamah Agung.
Ada beberapa alasan mengapa Permen 19/2014 ini akhirnya diuji di Mahkamah Agung. Pertama, Permen 19/2014 gagal merumuskan secara definitif yang dimaksud ‘konten bermuatan negatif'.
Hal ini dianggap memiliki implikasi serius pada perlindungan hak asasi, karena tanpa batasan yang jelas konten apapun di internet dapat dikategorikan sebagai konten negatif.
Kedua, penerbitan Permen 19/2014 didasarkan pada UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi).
Maka seharusnya larangan dalam Permen 19/2014 tidak melebihi tindakan-tindakan yang diatur UU ITE dan UU Pornografi. Misalnya hanya mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang Pasal 27-29 UU ITE, atau melarangan situs bermuatan pornografi.
Ketiga, Permen 19/2014 dianggap tidak memiliki dasar acuan UU yang jelas dalam pemberian kewenangan pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Keminfo) untuk menilai apakah suatu situs bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, terlebih lagi untuk menutup situs tersebut.
Keempat, pemblokiran ‘konten yang dilarang’ sudah aktif dilakukan Internet Service Provider atas perintah Keminfo dengan merujuk pada daftar TRUST+Positive yang dibentuk berdasarkan Permen 19/2014.
Pada implementasinya, materi pengaturan pemblokiran ini dinilai membatasi hak dan kebebasan yang dijamin UUD 1945. Seharusnya materi Permen 19/2014 diatur oleh UU untuk menjamin adanya partisipasi publik dalam pembahasannya, serta memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam tindakan pembatasannya.
(ash/fyk)