Shutter di kamera terbagi dalam dua jenis yaitu mekanik dan elektronik. Mekanikal shutter ditemui di kamera seperti DSLR dan mirrrorless, sedangkan shutter elektronik ditemui di kamera saku dan ponsel.
Di saat shutter elektronik bisa menghasilkan foto yang 'tidak ada masalah' seperti di ponsel, lantas kita mungkin akan bertanya-tanya untuk apa lagi ada shutter mekanik kalau begitu?
Pertanyaan ini bisa dijawab singkat, kamera masih membutuhkan shutter mekanik untuk menghasilkan foto, dan shutter elektronik masih perlu waktu beberapa tahun lagi untuk bisa sepenuhnya menggantikan fungsi shutter mekanik.
Baca juga: Tren Kamera Selama Pandemi Melanda |
Sensor di kamera DSLR/mirrorless termasuk dalam sensor ukuran besar, dan hanya di era modern saat ini saja sensor tersebut akhirnya mampu diminta untuk on-off secara elektronik, tanpa bantuan shutter mekanik.
Ini berbeda dengan kamera saku atau ponsel yang sensornya kecil, dan shutter-nya dirancang untuk berfungsi penuh secara elektronik.
![]() |
Ingat kembali fungsi shutter berkaitan dengan timing eksposur, sebuah proses yang tidak pernah berubah sejak era kamera film pertama kali dibuat. Shutter membuka, cahaya masuk, terjadi eksposur, dan shutter menutup lagi, begitulah prosesnya. Dalam proses ini menghasilkan juga semacam bunyi shutter yang khas : 'cekrek'.
Namun kadang bunyi inilah yang juga membuat kita kurang nyaman karena mungkin mengganggu sekitar kita, misal saat suasana sepi atau tidak boleh ada gangguan suara.
Nah shutter elektronik paling utama dipilih jika ingin kamera menjadi silent / tidak bersuara. Maka di kamera generasi lama, di menu mungkin tidak ada pilihan shutter elektronik, tapi bisa jadi ada menu untuk silent shooting.
Pada dasarnya itu sama saja yaitu memakai shutter elektronik juga. Bedanya, bila di kamera ada pilihan menu shutter-nya, tentu lebih baik. Alasan lain untuk memilih shutter elektronik adalah mencegah shutter mekanik cepat aus, dalam jangka panjang. Kita tahu shutter mekanik dalam jangka panjang bila sering dipakai buka tutup akan mengalami kerusakan, dan biaya ganti unit shutter ini cukup mahal.
Baca juga: Gegara Mirroless, Sony Setop Produksi DSLR |
![]() |
Alasan ketiga untuk memilih shutter elektronik adalah bila ingin memakai shutter speed yang sangat cepat. Adakalanya kamera 'hanya' bisa memotret secepat 1/4000 detik, dan bila kita ingin mencapai 1/16000 detik bisa dicapai dengan shutter elektronik di beberapa jenis kamera.
Masih berkaitan dengan ini, shutter elektronik juga saat ini menjadi satu-satunya pilihan bila kita perlu continuous shooting yang cepat, misal seorang jurnalis memakai kamera kelas atas yang cepat, yaitu bisa 10 fps (mekanik) tapi ternyata masih merasa kurang cepat.
Maka di kameranya bila ada opsi yang lebih cepat, misal bisa 20 fps, itu adalah shutter elektronik. Karena sulit sekali meminta shutter mekanik untuk bisa buka tutup terus menerus dalam kecepatan di atas 10 kali dalam satu detik.
![]() |
Kita juga perlu mengetahui bahwa saat ini memang shutter elektronik masih ada beberapa kelemahan, misal mengalami rolling shutter atau efek jello bila memotret benda bergerak. Shutter elektronik juga kadang bermasalah dengan cahaya lampu tertentu, dan sebagian besar kamera yang memakai shutter elektronik tidak bisa memakai lampu flash.
Efek jello dan keterbatasan dalam memotret dengan flash di shutter elektronik disebabkan karena image sensor membaca data terlalu lambat. Maka itu di beberapa kamera baru high-end menggunakan arsitektur stacked sensor, yang artinya sensor yang ditumpuk dengan memory sehingga pembacaan data bisa lebih cepat dan mengurangi sebagian besar efek jello dan bisa sinkron dengan flash dengan shutter speed yang cukup cepat (1/250 dibanding /1/15 detik).
![]() |
Ke depannya, mungkin saja sebagian besar kamera akan menggunakan stacked sensor ini, tapi untuk saat ini, kamera dengan stacked sensor masih tinggi harganya, hampir dua kali dari aslinya.
Simak Video "Mengupas Fotografi Hantu"
[Gambas:Video 20detik]
(jsn/fay)