Studio Foto Volendam: Lebih Serius dari yang Diperkirakan!
Hide Ads

Studio Foto Volendam: Lebih Serius dari yang Diperkirakan!

- detikInet
Jumat, 24 Jan 2014 11:33 WIB
Suasana desa wisata Volendam, Belanda dan etalase studio foto (ari/detikINET)
Jakarta - Saat saya mengunjungi kota nelayan Volendam, Belanda, terdapat beberapa studio foto yang menawarkan jasa berfoto dengan kostum tradisional Belanda.

Baju nelayan yang sangat lucu, hitam, bersyal merah dan bertopi putih (bagi perempuan). Sementara untuk laki-laki mengenakan baju merah bertopi hitam dan terdapat alat musik mainan sebagai properti pendukung. Tidak lupa, semua memakai klompen (bakiak) khas Belanda dengan warna mencolok.

Hasilnya memang sangat menarik. Setidaknya, bukan hanya turis biasa yang berfoto melainkan juga para tokoh publik seperti Gus Dur, Megawati, dan AA Gym.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai bukti, foto mereka dipajang di etalase studio. Keuntungan bisnisnya cukup efektif. Yakni mampu memprovokasi turis Indonesia untuk berfoto-foto di studionya dengan membayar 20 euro.

Mahal? Bisa iya, bisa juga tidak. Namun kalau diperhatikan, harga tersebut cukup pantas untuk memperoleh foto portrait keluarga yang monumental.

Bukan karena Volendamnya yang bergengsi (meski unsur ini juga penting), melainkan para penjual jasa tersebut tampaknya tidak mau mengecewakan pelanggan.

Bagaimana tidak, pertama mereka menyiapkan kostum dengan sempurna. Termasuk wardrobe yang bisa digunakan untuk memotret kelompok hingga 30-an orang. Bahkan untuk anak kecil (balita) hingga orang gede, ukurannya sudah disiapkan.



Kedua, property dan setting studio dibuat maksimal. Terdapat boneka cantik untuk si kecil. Selain itu, terdapat alat musik atau keranjang bunga bagi orangtua. Ada pula kamera jadul dan pemutar piringan hitam yang disediakan untuk menamnbah kesan vintage.

Tak cukup itu, studio tersebut juga memberi pilihan setting background seperti dapur, ruang keluarga atau landscape desa nelayan Volendam. Semua bisa dipilih sesuai dengan imajinasi turis.

Ketiga, dan ini yang paling saya suka, tata lampunya terlihat tidak sembarangan. Sebab, fotografer memperhatikan dengan cermat kualitas cahaya bergaya jadul yakni agak temaram dan tidak terlampau menyengat.

Bukan softbox seperti biasa, melainkan lampu blitz khusus berbentuk neon panjang dengan tungsten agak kemerah-merahan. Di sisi lain, mereka juga mempersiapkan tata lampu berbeda untuk setting latar yang berbeda pula.

Keempat, fotografer mencoba berkomunikasi meski dengan bahasa Inggris yang tidak terlalu baik. Namun usahanya untuk menghasilkan foto yang menarik patut diapresiasi. Termasuk saat fotografer perempuan itu meminta saya mendongakan dagu untuk membangun foto yang lebih hidup.

Terlebih saat dia memencet shutter kamera, tidak seperti orang yang sedang menodongkan pistol dan membuat saya panik. Ia terlihat rileks seperti sedang memotret temannya sendiri. Sederhana, ringkas, dan tidak mengintimidasi atau membuat canggung.

Alhasil, foto-foto yang dihasilkan dari Volendam begitu ikonik meski semua bisa dilakukan di mana saja, bahkan di Jakarta sekalipun.

Tampak, mereka mempersiapkan secara serius dari yang saya perkirakan sebelumnya. Yakni tidak sekadar 'tukang foto keliling', melainkan bagaimana mengemas cerita foto portrait secara maksimal sehingga mampu mencuri perhatian --- kendati setiap turis (hampir semuanya) sudah menenteng kamera digital.

Patut dicoba!

(/)