Keindahan yang ditunjukkan oleh film-film futuristis dan pidato ambisius ilmuwan terhadap AI atau kecerdasan buatan hanyalah ibarat pertunjukan di atas panggung. Ada sisi gelap di baliknya.
Pada podcast The Diary of A CEO, Mo Gawdat, mantan Chief Business Officer dari Google X, mengatakan bahwa dampak AI memang besar di mana sepuluh tahun ke depan, mungkin saja akan ada berbagai profesi digantikan oleh mesin.
Bahkan tidak membutuhkan waktu sepuluh tahun untuk membuktikannya di mana saat ini, AI semakin berdampak. Namun di sisi lain, perusahaan-perusahaan Kecerdasan Buatan (AI) di San Fransisco malah banyak mengandalkan tenaga kerja manusia yang murah dari luar negeri untuk mengembangkan AI dengan kondisi yang miris.
Selain memberikan gaji rendah dan lingkungan kerja yang buruk, mereka juga membebankan pekerja dengan pekerjaan yang berat demi melatih AI. Salah satunya adalah para pegawai yang berbasis di Filipina.
Berdasarkan laporan dari Washington Post yang dikutip detikINET, Rabu (9/6/2023) ada banyak warga Filipina yang bekerja untuk perusahaan AI dan mereka ditugaskan untuk memberikan label pada gambar.
Terkadang, mereka juga bertugas memahami potongan teks untuk melatih chatbot AI, seperti ChatGPT, dapat bekerja secara efektif. Sayangnya, banyak dari para pekerja ini dieksploitasi dan digaji rendah.
Contoh spesifiknya adalah perusahaan rintisan Scale AI yang mempekerjakan setidaknya 10.000 orang Filipina di sebuah platform bernama Remotasks. Berdasarkan data dan hasil wawancara Washington Post, perusahaan tersebut tidak jarang menunda gaji para pekerjanya.
Sejumlah pekerja lepas Remotasks mengaku bahwa mereka tidak pernah menerima uang seperti yang telah dijanjikan. Contohnya seorang pekerja berumur 26 tahun yang mengaku berharap mendapatkan USD 50 setelah bekerja selama tiga hari, tapi malah hanya mendapatkan USD 12.
Para pekerja juga tidak memiliki kemampuan untuk melapor dan mereka bisa dengan mudahnya dibungkam bila hendak bersuara. "Bila kamu komplain dan meninggikan suaramu sedikit saja, kamu akan dinonaktifkan," ujar Joseph, pekerja dari Cagayan de Oro, Filipina.
Pembahasan isu semacam ini perlu segera masuk ke atas meja diskusi yang besar, sehingga semua orang bisa mendengar dan bertindak menemukan solusinya sebelum persoalan semacam itu semakin meluas.
*Artikel ini ditulis oleh Khalisha Fitri, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
Simak Video "Video: Skill Kuasai AI Kini Jadi Pertimbangan Perusahaan Rekrut Karyawan"
(fyk/fyk)