E-commerce berkontribusi besar bagi pertumbuhan ekosistem ekonomi digital di Indonesia. Meski demikian, perdagangan melalui platform online ini pun tidak lepas dari berbagai tantangan dan ketidakpastian. Hal ini pun mendorong para pelaku usaha dan perusahaan untuk beradaptasi dan bertransformasi agar tetap tangkas (agile) di tengah industri yang begitu dinamis.
Direktur Eksekutif ICT Institute dan Pengamat Ekonomi Digital Heru Sutadi menekankan bahwa berdasarkan jumlah pengguna ponsel yang mencapai 350 juta, pengguna internet 221 juta, dan pengguna media sosial yang mencapai 200 juta, ekonomi digital Indonesia memiliki peluang dan potensi yang tinggi.
"Indonesia generasi Milenial dan Gen Z juga cukup besar karena merupakan digital native yang sehari-hari sudah menggunakan ponsel. Ini potensi yang bagi perkembangan sektor ekonomi digital cukup bagus karena banyak negara ekonomi digital nggak berkembang karena banyak usia tua," kata Heru dalam Podcast NgeTech Detik.com belum lama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seiring dengan peningkatan masyarakat digital native dan penetrasi jaringan internet di Indonesia yang membuat industri e-commerce di Indonesia masih menyimpan potensi besar, Heru menyebutkan beberapa tantangan yang dihadapi oleh perusahaan e-commerce, salah satunya adalah fenomena tech winter.
Secara global, Heru juga menyebut penurunan nilai investasi. Menurut Heru, para investor, yang memberikan pendanaan sejak 5 atau 7 tahun lalu bagi perusahaan e-commerce, sudah saatnya untuk mengambil keuntungan. Sehingga mereka menghentikan investasi-investasi baru.
"Kalau kita lihat bahwa pengereman ini (investasi) terjadi secara internasional dan kalau kita lihat banyak data untuk kondisi di Indonesia memang masih ada investor yang masuk walaupun perlu perbaikan karena betapa pun e-commerce Indonesia jor-joran, memberikan promo panjang, kemudian pegawainya juga gajinya di atas rata-rata," papar dia.
Untuk itu, lanjut Heru, dalam menghadapi tantangan ini, perusahaan e-commerce perlu melakukan evaluasi yang meliputi tingginya gaji pegawai dan penawaran promo. Perusahaan e-commerce juga perlu melakukan strategi seperti mengadopsi teknologi baru dan layanan baru.
"Saya lihat perusahaan e-commerce perlu strategi baru, bagaimana mengadopsi teknologi baru, layanan baru, dan yang lebih efisien dan agile. Karena bisa jadi apa yang mereka berikan, besok sudah kadaluwarsa," terang Heru.
Strategi lain yang dapat dilakukan oleh perusahaan e-commerce di Indonesia adalah meningkatkan layanan platform. Dia menilai masyarakat Indonesia gemar berbelanja dan mereka mudah tertarik dengan layanan seperti live shopping / live streaming.
"Ini yang membuat potensi e-commerce masih terus bisa ditingkatkan dan pasarnya bukan ecek-ecek. Indonesia diprediksi nomor satu di Asia Tenggara dengan (nilai) Rp 3.000 triliun di 2025 dan mencapai Rp 5.000 triliun di 2050," ungkap dia.
Lebih lanjut, Heru mendukung regulasi pemerintah yang mendukung perkembangan e-commerce, khususnya regulasi yang tidak memberatkan para pemain e-commerce dalam menghadirkan inovasi. Meskipun pemerintah telah memberi dukungan positif terhadap perkembangan e-commerce, Heru menekankan peran penting pemerintah agar terus membangun pemerataan infrastruktur internet dan membangun kecepatan internet.
"Kalau bisa regulasi mendukung bagaimana pertumbuhan e-commerce lebih meningkat agar prediksi beberapa lembaga internasional terbukti dan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia," tuturnya.
(prf/ega)